Rabu, 06 Juli 2016

Polisi Cabul Yang Barter Tilang Dengan Bercinta Kena Sanksi Ancaman Pemecatan Melalui Sidang Kode Etik

Hukum Dan Undang Undang, Jawa Timur ~ KASUS barter denda tilang dengan hubungan intim yang diduga dilakukan oleh oknum polantas Polresta Batu terhadap seorang perempuan beberapa waktu lalu, mulai disidangkan.

Brigadir EN kemarin diseret ke meja sidang etik di Polda Jatim. Ancaman pemecatan menanti lantaran dianggap mencoreng institusi Polri.

Sidang etik tersebut berlangsung tertutup. Petugas Propam membacakan dakwaannya terkait dengan kasus yang diduga dilakukan Brigadir EN di sebuah pos polisi di Kota Batu.

"Sekalian semua saksi-saksinya dihadirkan," kata Kabidhumas Polda Jatim Kombespol R.P Argo Yuwono. 

Polisi Cabul Yang Barter Tilang Dengan Bercinta Kena Sanksi Ancaman Pemecatan Melalui Sidang Kode Etik
Mediasi korban dengan pihak Polres Baru Kamis (9/6). Polisi Cabul Brigadir EN Yang Barter Tilang Dengan Bercinta Kena Sanksi Ancaman Pemecatan Melalui Sidang Kode Etik
Dia mengatakan, kasus tersebut tidak melalui proses penyidikan petugas propam. Tapi langsung disidangkan oleh Pengawasan Profesi (waprof). Hal itu dilakukan karena kasus tersebut sudah sangat jelas sehingga tidak perlu mencari bukti-bukti lagi.

Argo mengatakan, hasil dari sidang kode etik itu adalah hukuman. Paling berat adalah pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Salah satunya adalah perbuatan yang mencoreng institusi Polri. Ditanya apakah perbuatan Brigadir EN seperti yang dimaksud, Argo menjawab diplomatis. "Ya nanti terserah hakimnya," ucap Argo.

Seperti diberitakan, Brigadir EN dilaporkan karena mengajak bercinta sebagai barter atas pelanggaran lalu lintas yang dilakukan siswi SMK. Tawaran itu dilakukan di pos polisi Kota Batu. Kasus itu terungkap setelah korban berani mengadukan ke Propam. (eko/ami) 

Ulasan Apabila Anggota Polisi Melakukan Suatu Tindak Pidana, Sidang Etik atau Peradilan Umum Yang Terlebih Dahulu

Sidang KKEP terkait tindak pidana dilakukan setelah terlebih dahulu dibuktikan pelanggaran pidananya melalui proses peradilan umum sampai dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Perlu diketahui bahwa pada dasarnya anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia itu tunduk pada kekuasaan peradilan umum seperti halnya warga sipil pada umumnya. Demikian yang disebut dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU Kepolisian”). Hal ini menunjukkan bahwa anggota Kepolisian RI (“Polri”) merupakan warga sipil dan bukan termasuk subjek hukum militer.

Namun, karena profesinya, anggota Polri juga tunduk pada Peraturan Disiplin dan Kode Etik Profesi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“PP 2/2003”). Sedangkan, kode etik kepolisian diatur dalam Perkapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 14/2011”).

Pada dasarnya, Polri harus menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Pasal 3 huruf c PP 2/2003) dan menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang berhubungan dengan tugas kedinasan maupun yang berlaku secara umum (Pasal 3 huruf g PP 2/2003). Dengan melakukan tindak pidana, ini berarti Polri melanggar peraturan disiplin.

Pelanggaran Peraturan Disiplin adalah ucapan, tulisan, atau perbuatan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melanggar peraturan disiplin (Pasal 1 angka 4 PP 2/2003). Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ternyata melakukan pelanggaran Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dijatuhi sanksi berupa tindakan disiplin dan/atau hukuman disiplin (Pasal 7 PP 2/2003).

Tindakan disiplin berupa teguran lisan dan/atau tindakan fisik (Pasal 8 ayat (1) PP 2/2003). Tindakan disiplin tersebut tidak menghapus kewenangan Atasan yang berhak menghukum (“Ankum”) untuk menjatuhkan Hukuman Disiplin.

Adapun hukuman disiplin tersebut berupa [Pasal 9 PP 2/2003] :
  1. teguran tertulis;
  2. penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 (satu) tahun;
  3. penundaan kenaikan gaji berkala;
  4. penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun;
  5. mutasi yang bersifat demosi;
  6. pembebasan dari jabatan;
  7. penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 (dua puluh satu) hari.
Untuk pelanggaran disiplin Polri, penjatuhan hukuman disiplin diputuskan dalam sidang disiplin [lihat Pasal 14 ayat (2) PP 2/2003].

Jadi, jika polisi melakukan tindak pidana misalkan pemerkosaan, penganiyaan, dan pembunuhan (penembakan) terhadap warga sipil seperti yang Anda sebut, maka polisi tersebut tidak hanya telah melakukan tindak pidana, tetapi juga telah melanggar disiplin dan kode etik profesi polisi.

Proses Hukum Oknum Polisi yang Melakukan Tindak Pidana, pelanggaran terhadap aturan disiplin dan kode etik akan diperiksa dan bila terbukti akan dijatuhi sanksi. Penjatuhan sanksi disiplin serta sanksi atas pelanggaran kode etik tidak menghapus tuntutan pidana terhadap anggota polisi yang bersangkutan [lihat Pasal 12 ayat (1) PP 2/2003 jo. Pasal 28 ayat (2) Perkapolri 14/2011]. Oleh karena itu, polisi yang melakukan tindak pidana tersebut tetap akan diproses secara pidana walaupun telah menjalani sanksi disiplin dan sanksi pelanggaran kode etik.

Adapun proses peradilan pidana bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum dilakukan menurut hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Hal ini diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“PP 3/2003”).

Kemudian soal Sidang Kode Etik. Perlu diketahui, Sidang Komisi Kode Etik Polri (“Sidang KKEP”) adalah sidang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran Kode Etik Profesi Polri (“KEPP”) yang dilakukan oleh Anggota Polri sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 7 Perkapolri 14/2011. Selain itu Sidang KKEP juga dilakukan terhadap pelanggaran Pasal 13 PP 2/2003.

Pasal 13 PP 2/2003:

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dijatuhi hukuman disiplin lebih dari 3 (tiga) kali dan dianggap tidak patut lagi dipertahankan statusnya sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui Sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Lalu bagaimana proses peradilan bagi polisi yang melakukan tindak pidana tersebut? Apakah ia akan menjalani Sidang KKEP, sidang disiplin atau sidang pada peradilan umum terlebih dahulu? Seperti yang kami jelaskan di atas, penjatuhan sanksi disiplin serta sanksi atas pelanggaran kode etik tidak menghapus tuntutan pidana terhadap anggota polisi yang bersangkutan [lihat Pasal 12 ayat (1) PP 2/2003 jo. Pasal 28 ayat (2) Perkapolri 14/2011].

Terkait sidang disiplin, tidak ada peraturan yang secara eksplisit menentukan manakah yang terlebih dahulu dilakukan, sidang disiplin atau sidang pada peradilan umum. Yang diatur hanya bahwa sidang disiplin dilaksanakan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah Ankum menerima berkas Daftar Pemeriksaan Pendahuluan (DPP) pelanggaran disiplin dari provos atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Ankum [Pasal 23 PP 2/2003 dan Pasal 19 ayat (1) Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.: Kep/44/IX/2004 tentang Tata Cara Sidang Disiplin Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 44/2004”)].

Sedangkan, untuk sidang KKEP, jika sanksi administratif yang akan dijatuhkan kepada Pelanggar KKEP adalah berupa rekomendasi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (“PTDH”), maka hal tersebut diputuskan melalui Sidang KKEP setelah terlebih dahulu dibuktikan pelanggaran pidananya melalui proses peradilan umum sampai dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 22 ayat (2) Perkapolri 14/2011).

Sanksi administratif berupa rekomendasi PTDH dikenakan melalui Sidang KKEP terhadap: (lihat Pasal 22 ayat (1) Perkapolri 14/2011)
  1. Pelanggar yang dengan sengaja melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih dan telah diputus oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; dan
  2. Pelanggar yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (3) huruf e, huruf g, huruf h, dan huruf i.
Terkait dengan tindak pidana misalnya saja kita lihat ketentuan mengenai hukum pidana terkait pembunuhan dalam Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang mana pembunuhan diancam dengan hukuman pidana 15 tahun penjara (lebih dari 4 tahun), maka tentunya harus dilakukan proses peradilan umum terlebih dahulu sebelum sidang KKEP.

Dasar Hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia; 
  5. Perkapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  6. Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.: Kep/44/IX/2004 tentang Tata Cara Sidang Disiplin Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Referensi :

  1. http://artonang.blogspot.co.id/2014/12/pengertian-tindak-pidana-unsur-unsur.html
  2. http://jambiindependent.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar