Rabu, 17 Agustus 2016

Jenis-jenis Deelneming Atau Keturutsertaan

Hukum Dan Undang Undang ~ Dalam proses penegakan hukum pidana kerap dipergunakan Pasal 55 ayat 1 Ke1 KUHP yang lazim digunakan dalam penanganan suatu tindak pidana yang terjadi melibatkan lebih dari satu orang pelaku. Dalam kajian hukum pidana terkait Pasal 55 KUHP itu secara teoritik dikenal dengan apa yang disebut dengan deelneming (penyertaan). Dalam konteks ini, deelneming adalah berkaitan dengan suatu peristiwa pidana yang pelakunya lebih dari 1 (satu) orang, sehingga harus dicari peranan dan tanggung jawab masing-masing pelaku dari peristiwa pidana itu.

Dalam kaitan itu, maka apabila dihubungkan antara Pasal 55 KUHP dengan ajaran deelneming, maka sebenarnya tidak ada dalam satu peristiwa pidana diantara pelaku mempunyai kedudukan dan peranan yang sejajar. Artinya tidaklah logis apabila dalam penanganan suatu perkara pidana, hakim menyatakan terbukti Pasal 55 KUHP dengan hanya sebatas menyatakan adanya hubungan kerjasama secara kolektif. Penggunaan kesimpulan adanya suatu kerjasama kolektif dalam suatu peristiwa pidana tanpa bisa menunjukkan peran masing-masing pelaku, sebenarnya proses pembuktian Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHP adalah tidak sempurna. Bahkan sekaligus menggambarkan proses persidangan telah gagal menggali kebenaran materil dari perkara yang diperiksa dan diadili.

Jika disimak keberadaan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, maka ada keharusan untuk menemukan peran pelaku dan para pelaku dimintai pertanggungjawabannya sesuai dengan peranannya masing-masing. Artinya dalam prinsip deelneming tidaklah bisa semua pelaku adalah sama-sama sebagai orang yang melakukan, atau sama-sama sebagai orang yang menyuruh lakukan, apalagi sama-sama sebagai turut serta melakukan. Dalam konteks ini, suatu peristiwa pidana yang pelakunya lebih dari satu orang meminta adanya penemuan dari penegak hukum untuk menemukan kedudukan dan peran dari masing-masing pelaku.
Jenis-jenis Deelneming Atau Keturutsertaan
Jenis-jenis Deelneming Atau Keturutsertaan
Dalam suatu peristiwa pidana adalah sangat penting menemukan hubungan antar pelaku dalam menyelesaikan suatu tindak pidana, yakni bersama-sama melakukan tindak pidana; Seorang mempunyai kehendak dan merencanakan kejahatan sedangkan ia menggunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut. Seorang saja yang melakukan suatu tindak pidana, sementara orang lain membantu melaksanakan tidak pidana tersebut.

Secara garis besar bisa dikelompokan, penyertaan bisa berdiri sendiri, mereka yang melakukan dan turut serta melakukan. Tanggung jawab pelaku dinilai sendiri-sendiri atas perbuatan yang dilakukan. Penyertaan bisa juga dalam arti tidak berdiri sendiri, pembujuk, pembantu dan yang menyuruh untuk melakukan suatu tindak pidana.

Dalam KUHP kita telah menyebutkan bentuk-bentuk perbuatan penyertaan menurut Pasal 55 atau Pasal 47 WvS N adalah orang yang plegen, orang yang doen plegen, orang yang medeplegen dan orang yang uitlokking, keempat bentuk penyertaan ini dalam hal pemidanaannya dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu pembuat/daders/princippals/autores dan pembantu/ medeplichtige/accessories/ pembantu, untuk pembantuan telah ditetapkan pada Pasal 56 (1e) KUHP. Ajaran turut serta adalah buah pikiran von Feuerbach yang membagi peserta dalam 2 (dua) jenis, yaitu :
  • Mereka yang lansung berusaha terjadinya peristiwa disebut auctores atau urheber yaitu yang melakukan inisiatif adalah :
  1. Pelaku (pleger);
  2. Yang menyuruh melakukan (doen pleger);
  3. Yang turut melakukan (medepleger); dan
  4. Yang membujuk melakukan/pembujuk (uitlokker).
  • Mereka yang hanya membantu usaha yang dilakukan oleh mereka yang disebut mereka yang lansung berusaha, disebut gehilfe yaitu yang membantu (medeplichtige).
Disamping pembagian tersebut ada juga pembagian lain yang dibuat oleh Zevenbergen, Van Hamel, Simons dan Vos yaitu :
  1. Peserta yang berdiri sendiri (zelfstandige deelnemers) yaitu pleger, doenpleger dan mendepleger. Disebut peserta yang berdiri sendiri karena dapat tidaknya mereka dihukum bergantung kepada apa yang mereka lakukan sendiri.
  2. Peserta yang tidak berdiri sendiri (onzelfstandige deelnemers atau accessoire deelnemers) yaitu uitlokker dan mendiplechtige. Disebut tidak berdiri sendiri karena tidak dapat mereka dihukum, bergantung kepada apa yang dilakukan oleh orang lain.
Adapun yang dimaksud dengan masing-masing bentuk turut serta adalah :

a. Pelaku (Pleger)

Pelaku adalah pembuat lengkap yaitu mereka yang perbuatannya memuat/memenuhi semua unsur-unsur delik yang bersangkutan. Berkenaan dengan rumusan hukum pidana tertentu yang tidak tegas siapa (subyek) dinyatakan melakuan perbuatan pidana dan istilah pleger yang kadang kala dapat diartikan dader, dalam hukum pidana Jerman menyatakan semua bentuk orang yang melakukan perbuatan pidana adalah tater (dader) sebagai perbuatan yang memenuhi syarat rumusan delik, sebaliknya Langemayer menyatakan semua orang yang mewujudkan perbuatan pidana Pasal 55 KUHP dinamakan pleger.

b. Yang Menyuruh Melakukan (doenpleger)

Ajaran ini disebut juga middelijkedaderschap (perbuatan dengan perantara), yaitu seseorang yang berkehendak melakukan suatu delik, tidak melakukan sendiri akan tetapi menyuruh orang lain melakukannya. Menurut Memorie vanToelieting (MvT) didalam menyuruh melakukan terdapat beberapa unsur, yaitu :
  1. Adanya seseorang yang dipakai sebagai alat;
  2. Tetapi tidak bertanggungjawab atas perbuatannya menurut hukum pidana; dan
  3. Orang yang disuruh tidak dapat dihukum.

c. Yang Turut Melakukan (medepleger)

Yang dimaksud dengan turut melakukan dalam KUHP tidak ada penjelasan. Oleh karenanya dalam menafsirkan turut melakukan itu muncul banyak pendapat yang berbeda-beda satu sama lain.

Menurut Memorie vanToelieting (MvT) hanya disebutkan bahwa yang turut melakukan adalah tiap orang yang sengaja “meedoet” (turut berbuat dalam melakukan satu peristiwa pidana).

Van Hamel dan Trapman berpendapat bahwa turut melakukan itu terjadi apabila perbuatan masing-masing peserta memuat semua anasir-anasir peristiwa pidana yang bersangkutan. Simons yang juga menempatkan yang turut melakukan itu sebagai pembuat, mengemukakan bahwa yang turut melakukan harus mempunyai pada dirinya semua kwalitet-kwalitet yang dipunyai oleh seorang pembuat delik yang bersangkutan. Akan tetapi perbuatan yang dilakukan oleh yang turut melakukan tidak perlu merupakan satu perbuatan yang penuh.

d. Yang Membujuk Melakukan (uitlokker)

Maksud yang membujuk melakukan disini adalah mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat dengan kekerasan atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

Dari rumasan di atas dapat ditarik beberapa unsur membujuk yaitu :
  1. Seseorang atau lebih dengan sengaja membujuk/mengajak/menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu delik (tertentu);
  2. Pembujukan dilakukan harus dengan menggunakan salah satu atau lebih cara/ikhtiar yang ditentukan secara limitative/terbatas dalam Pasal 55 ayat (1) sub 2e;
  3. Timbulnya kehendak orang yang dibujuk untuk melakukan delik (tertentu) adalah akibat bujukan dari sipembujuk (harus ada psychische causaliteit);
  4. Orang yang dibujuk harus telah melaksanakan atau telah mencoba melaksanakan delik yang dikehendaki sipembujuk;
  5. Orang yang dibujuk bertanggungjawab penuh menurut hukum pidana.

e. Membantu Melakukan (medeplechtigheid) Gehilfe

Bentuk turut serta membantu melakukan ini diatur dalam Pasal 56 KUHP yang mana dipidana sebagai pembantu kejahatan :
  1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
  2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keteranga untuk melakukan kejahatan.
Maka disimpulkan adalah bahwa membantu tersebut hanya dapat dihukum dalam membantu kejahatan. Hal ini lebih dipertegas lagi oleh Pasal 60 KUHP yang menentukan bahwa membantu melakukan pelanggaran tidak dihukum. Membantu melakukan kejahatan dibedakan atas 2 (dua) jenis, yaitu :
  • Membantu melakukan kejahatan (medeplichtigheid bij het plegen van het misdrijf). Membantu melakukan kejahatan maka bantuan diberikan pada saat kejahatan sedang dilakukan. Bentuk bantuan dapat berupa berbuat sesuatu (membantu materil) dan membantu dengan memberikan nasehat (membantu intelektuil).
  • Membantu untuk melakukan kejahatan (medeplichtigheid tot het plegen van het misdrijf). Membantu untuk melakukan kejahatan maka bantuan diberikan sebelum kejahatan dilakukan. Cara membantu ditentukan secara terbatas dalam Pasal 56 KUHP yaitu memberi kesempatan, daya upaya dan keterangan.

 

Sumber Hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Referensi :

  1. Kanter.E.Y dan Sianturi.S.R, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. Ctk. ketiga, Storia Grafika, Jakarta, 2002.
  2. Nainggolan Ojak dan Siagian Nelson, Hukum Tindak Pidana Umum, Cetakan  Pertama,Universitas HKBP Nommensen. Medan. 2009.
  3. Lamintang.P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia., Cetakan Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
  4. http://artonang.blogspot.com/2016/08/pengertian-deelneming-atau.html
  5. http://artonang.blogspot.com/2016/08/pengertian-tindak-pidana.html
  6. http://artonang.blogspot.co.id/2015/01/ilmu-hukum-pidana.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar