Selasa, 02 Agustus 2016

Syarat Sahnya Perjanjian

Syarat Sahnya Perjanjian ~ Defenisi perjanjian adalah suatu perbuatan/tindakan hukum yang terbentuk dengan tercapainya kata sepakat yang merupakan pernyataan kehendak bebas dari dua orang (pihak) atau lebih, dimana tercapainya sepakat tersebut tergantung dari para pihak yang menimbulkan akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban pihak yang lain atau timbal balik dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan.[1]

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
  3. Mengenai suatu hal tertentu; dan
  4. Suatu sebab yang halal.
Demikian menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.[2]
Syarat Sahnya Perjanjian
Syarat Sahnya Perjanjian
Keempata syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW tersebut di atas akan di uraikan lebih lanjut sebagai berikut.

1. Sepakat Mereka Yang Mengikatkan Dirinya

Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu perjanjian. Kesepakatan ini dapat terjadi dengan berbagai cara, namun yang paling penting adalah adanya penawaran dan penerimaan atas penawaran tersebut. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPedata, yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak yang lainnya. Menurut Sudikno Mertokusumo ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan :
  • Bahasa yang sempurna dan tertulis;
  • Bahasa yang sempurna secara lisan;
  • Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;
  • Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; dan 
  • Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima oleh pihak lawan.[3]
Pada dasarnya cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan tertulis. Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, dikala timbul sengketa dikemudian hari. Mengenai kesepakatan ini harus betul-betul murni timbul dari hati sanubari dari pihak yang mengadakan perjanjian, artinya kesepakatan itu adanya kekhilafan, penipuan atau paksaan dari satu pihak manapun dari pihak lain. (Pasal 1321 Kitab Undang-undang Hukum Perdata).

2. Cakap Untuk Membuat Suatu Perjanjian

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun dan atau sudah kawin. Dengan demikian, dapat disimpulkan seseorang seseorang dianggap tidak cakap apabila :
  • Belum berusia 21 tahun dan belum menikah
  • Berusia 21 tahun, tetapi gelap mata, sakit ingatan, dungu atau boros.
Sementara itu, dalam Pasal 1330 BW, ditentukan bahwa tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah :
  • Orang-orang yang belum dewasa
  • Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
  • Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu.[4]

3. Mengenai Suatu Hal Tertentu

Dalam suatu kontrak objek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para pihak, objek perjanjian tersebut dapat berupa barang maupun jasa, namun dapat juga berupa tidak berbuat sesuatu. Hal tertentu ini dalam perjanjian disebut prestasi yang dapat berwujud barang, keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu.

4. Suatu Sebab Yang Halal

Istilah kata halal bukanlah lawan kata haram dalam hukum Islam, tetapi yang dimaksud sebab yang halal adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, norma-norma, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Sumber Hukum :

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Referensi :

  •  http://artonang.blogspot.co.id/2016/08/pengertian-perjanjian.html
  • [1]Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidan kenotariatan, PT. Citra Aditia Bakti, Bandung, 2011. Hal, 3.
  • [2] Subekti, Hukum Perjanjian,cetakan ke XI. Op. Cit. Hal, 17.
  • [3]Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, Hal. 33.
  • [4] Ahmad Miru. Hukum Kontrak& Perancangan Kontrak. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2011. Hal, 29.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar