Lahirnya Perjanjian ~ Perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian maupun karena undang-undang (Pasal 1233 KUHPerdata). Sumber terpenting dari perikatan adalah perjanjian, terutama perjanjian obligatoir yang diatur lebih lanjut di dalam Bab Kedua Buku Ketiga KUHPerdata “Tentang perikatan-perikatan yang dilahikan dari kontrak atau perjanjian”.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dikenal adanya asas konsensualisme sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, bahwa untuk melahirkan suatu perjanjian cukup dengan sepakat saja dan perjanjian sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus tersebut, dan pada detik tersebut perjanjian sudah jadi dan mengikat, bukannya pada detik-detik lain yang terkemudian atau yang sebelumnya.
Menurut para ahli hukum, azas tersebut harus disempurnakan dari Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu pasal yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan bukan dari Pasal 1338 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Karena Pasal 1338 Ayat (1) yang berbunyi : "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya".
Ilustrasi atas Lahirnya Suatu Perjanjian |
Jadi bilamana sudah tercapai kata sepakat antara para pihak yang membuat perjanjian, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Namun ada perjanjian-perjanjian yang lahirnya tidak cukup hanya dengan adanya sepakat saja, tetapi disamping itu diperlukan suatu formalitas atau suatu perbuatan yang nyata,[1] dan perjanjian-perjanjian "formal" atau perjanjian-perjanjian riil, itu adalah pengecualian.
Perjanjian formal contohnya adalah perjanjian "perdamaian" yang menurut Pasal 1851 Ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) harus diadakan secara tertulis (kalau tidak maka tidak sah). Sedangkan untuk perjanjian riil adalah misalnya perjanjian `'Pinjam pakai" yang menurut Pasal 1740 Kitab Undangundang Hukum Perdata (KUHPer) baru tercipta dengan diserahkannya barang yang menjadi objeknya atau perjanjian "Penitipan" yang menurut Pasal 1694 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) baru terjadi dengan diserahkannya barang yang dititipkan.
Selain kesepakatan untuk lahirnya perjanjian juga haruslah dipegang teguh tentang adanya suatu persesuaian kehendak antara kedua belah pihak. Apabila kedua kehendak itu berselisih, tak dapatlah lahirnya suatu perjanjian.[2] Jadi kesepakatan berarti persesuaian kehendak. Kehendak atau keinginan ini harus dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang disimpan di dalam hati, tidak mungkin diketahui pihak lain dan karenanya tidak mungkin melahirkan sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian.
Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada mengucapkan perkataan, ia dapat dicapai pula dengan memberikan tanda apa saja yang dapat menterjemahkan kehendak itu baik oleh pihak yang mengambil prakarsa yaitu pihak yang menawarkan maupun oleh pihak yang menerima penawaran.
Dengan demikian maka yang akan menjadi alat pengukur tentang tercapainya persesuaian kehendak tersebut adalah pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Undang-undang berpangkal pada azas konsensualisme, namun untuk menilai apakah telah tercapai konsensus ini adalah maha penting karena merupakan saat lahirnya perjanjian yang mengikat laksana suatu undang-undang, kita terpaksa berpijak pada pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak, dan pernyataan itu sebaiknya dibuat dalam tulisan untuk mendapatan kepastian hukum dalam pembuktiannya.
Sumber Hukum :
Kitab Undang Undang Hukum Perdata
Referensi :
- [1] R. Subekti, Hukum Perjanjian,Cetakan ke XI, PT. Intermasa, Jakarta 1987, Hal 4.
- [2] Ibid, hal 26.
- http://artonang.blogspot.co.id/2016/08/pengertian-perjanjian.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar