Selasa, 16 Agustus 2016

Unsur-Unsur Tindak Pidana

Hukum Dan Undang Undang ~ Apabila seseorang melakukan suatu tindakan sesuai dengan kehendaknya dan karenanya merugikan kepentingan umum/masyarakat termasuk kepentingan perseorangan, lebih lengkap kiranya apabila harus ternyata bahwa tindakan tersebut terjadi pada suatu tempat, waktu dan keadaan yang ditentukan. Artinya, dipandang dari sudut tempat, tindakan itu harus terjadi pada suatu tempat dimana ketentuan pidana Indonesia berlaku; dipandang dari sudut waktu, tindakan itu masih dirasakan sebagai suatu tindakan yang perlu diancam dengan pidana (belum daluwarsa); dan dari sudut keadaan, tindakan itu harus terjadi pada suatu keadaan dimana tindakan itu dipandang sebagai tercela. 

Dengan perkataan lain suatu tindakan yang dilakukan diluar jangkauan berlakunya ketentuan pidana Indonesia, bukanlah merupakan suatu tindak pidana dalam arti penerapan ketentuan pidana Indonesia.

Dari uraian tersebut di atas, secara ringkas dapatlah disimpulkan bahwa unsur-unsur tindak pidana yaitu :
  1. Subyek dari pelaku tindakan;
  2. Kesalahan dari tindakan;
  3. Bersifat melawan hukum dari tindakan tersebut;
  4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/ perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana; dan
  5. Waktu, tempat dan keadaan terjadinya suatu tindak pidana.
Setiap tindak pidana yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat dijabarkan kedalam unsur-unsur yang dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu : 

Unsur-Unsur Tindak Pidana
Unsur-Unsur Tindak Pidana

1. Unsur-unsur subjektif

Yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri sipelaku atau yang berhubungan dengan diri sipelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya, dimana unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :
  • Kesengajaan atau tidak kesengajaan (dolus atau culpa),
  • Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud didalam Pasal 53 ayat 1 KUHP,
  • Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapa misalnya didalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain,
  • Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya yang terdapat didalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP,
  • Perasaan takut atau vress seperti antara lain yang terdapat didalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

2. Unsur-unsur objektif

Yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari sipelaku itu harus dilakukan, dimana unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :
  • Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid,
  • Kualitas dari sipelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” didalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” didalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP,
  • Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Ada sebagian pendapat yang membagi unsur istilah perbuatan pidana secara mendasar dan pendapat lain yang membagi secara terperinci. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan pendapat para ahli. 

1. Pendapat yang membagi unsur-unsur perbuatan pidana secara mendasar yang terdiri dari :
  • Bagian yang obyektif menunjuk perbuatan pidana terdiri dari perbuatan dan akibat, yang merupakan kejadian yang bertentangan dengan hukum positif sebagai anasir yang melawan hukum (onrechtmatig) yang dapat diancam dengan pidana.
  • Bagian subyektif yang merupakan anasir kesalahan daripada perbuatan pidana. Menurut Apeldoorn dan Van Bemmelen bahwa elemen delik itu terdiri elemen obyektif yang berupa adanya suatu kelakuan yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatig/wederrechtelijk) dan elemen subyektif yang berupa adanya seorang pembuat (toerekeningsvatbaarheid) terhadap kelakuan yang bertentangan dengan hukum itu.
2. Pendapat yang memberikan rumusan terperinci terhadap unsur-unsur perbuatan pidana, diantaranya menurut Vos di dalam suatu strafbaar feit (perbuatan pidana) dimungkinkan adanya beberapa elemen atau unsur delik, yaitu :
  • Elemen perbuatan atau kelakuan orang, dalam hal berbuat atau tidak berbuat (een doen of een nalaten);
  • Elemen akibat dari perbuatan, yang terjadi dalam delik selesai. Elemen akibat ini dapat dianggap telah ternyata pada suatu perbuatan, dan kadang-kadang elemen akibat tidak dipentingkan dalam delik formel, akan tetapi kadang-kadang elemen akibat dinyatakan dengan tegas yang terpisah dari perbuatannya seperti dalam delik materiel;
  • Elemen kesalahan, yang diwujudkan dengan kata-kata sengaja (opzet) atau alpa (culpa);
  • Elemen melawan hukum (wederrechtelijkheid);
  • Eelemen lain menurut rumusan undang-undang, dan dibedakan menjadi segi obyektif misalnya di dalam Pasal 160 diperlukan elemen dimuka hukum (in het openbaar) dan segi subyektif misalnya Pasal 340 KUHP diperlukan elemen direncanakan terlebih dahulu (voorbedachteraad).
Perbuatan pidana yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana dinamakan “delik” yang dalam sistem KUHP terbagi dalam 2 (dua) jenis yaitu :
  • Kejahatan (misdrijven), yang disusun dalam Buku II KUHP, kejahatan adalah Criminal-onrecht yang merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan hukum atau dengan kata lain perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma menurut kebudayaan atau keadilan yang ditentukan oleh Tuhan dan membahayakan kepentingan hukum. Contoh dari kejahatan dalam KUHP yaitu pada Pasal 362 tentang pencurian, pasal 378 tentang penggelapan, dan lain-lain. Tapi ada satu catatan bahwa pengertian kejahatan menurut hukum pidana berbeda dengan kejahatan menurut ilmu kriminologi.
  • Pelanggaran (overtredingen), disusun dalam Buku III KUHP, pelanggaran adalah politie-onrecht adalah perbuatan yang tidak mentaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa Negara atau dengan kata lain perbuatan yang pada umumnya menitikberatkan dilarang oleh peraturan penguasa Negara. Contoh dari bentuk pelanggaran dalam KUHP adalah: Pasal 504 tentang Pengemisan, Pasal 489 tentang Kenakalan, dan lain-lain.
Dalam undang-undang terdapat beberapa bentuk perumusan delik, yang disebabkan adanya berbagai kesulitan perumusan yang menyangkut segi teknis-yuridis, yuridis-sosiologis, dan politis. Adapun bentuk perumusannya diklasifikasikan menjadi 2 (dua) yaitu :

1. Kategori pertama

  • Perumusan formal, yang menekankan pada perbuatan, terlepas dari akibat yang mungkin timbul dan perbuatan itu sendiri sudah bertentangan dengan larangan atau perintah dan sudah dapat dipidana, contoh: Pasal 362 KUHP tentang Pencurian yang berbunyi “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”. Istilah “mengambil” berarti suatu perbuatan yang tidak lebih, yang mana perbuatan mengambil itu menimbulkan kehilangan milik secara tidak sukarela, yaitu akibat yang tidak dikehendaki yang dimaksud pembentuk undang-undang.
  • Perumusan materiel, yaitu yang dilarang dan dapat dipidana adalah menimbulkan akibat tertentu, meskipun perbuatan disini juga penting, sudah terkandung didalamnya, contoh : Pasal 359 KUHP tentang Menyebabkan Matinya Orang Lain.
  • Perumusan materiel-formil, yaitu antar perbuatan dan akibat dicantumkan dalam rumusan pasal, contoh: Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.

2. Kategori kedua

  • Delik Komisi, adalah apabila pembentuk undang-undang menghendaki ditepatinya suatu norma yang melarang suatu perbuatan tertentu, maka terciptalah ketentuan pidana yang mengancam perbuatan itu atau dalam kata lain pelanggaran terhadap norma yang melarang menimbulkan delik komisi, contoh: Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
  • Delik Omisi, adalah kebalikan dari delik komisi dimana pembentuk undang-undang menghendaki ditepatinya suatu norma yang mengharuskan suatu perbuatan, atau dalam kata lain adalah melanggar norma yang memerintahkan delik omisi.
  • Delik omisi semu, adalah menyebabkan menimbulkan akibat karena lalai, meskipun rumusan delik yang akan diterapkan tertuju pada berbuat dan berlaku untuk semua orang. Tapi dalam hal ini delik omisi semu harus mempunyai batasan-batasan karena bisa meluas pada delik berbuat dan tidak berbuat, contoh: Pasal 338 KUHP terhadap kasus seorang ibu sengaja tidak memberikan makan kepada bayinya dan akhirnya meninggal.

Sumber Hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Referensi :

  1. Kanter.E.Y dan Sianturi.S.R, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. Ctk. ketiga, Storia Grafika, Jakarta, 2002.
  2. Lamintang.P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia., Cetakan Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
  3. Moeljatno,Azas-Azas Hukum Pidana : Bina Aksara, Jakarta, 1987.
  4. Schaffmeister.D. Keijzer.N. dan Sotorius.E. PH.  Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta. 1995.
  5. http://artonang.blogspot.com/2016/08/pengertian-tindak-pidana.html
  6. http://artonang.blogspot.co.id/2015/01/ilmu-hukum-pidana.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar