Rabu, 03 Februari 2016

Jenis - Jenis Perjanjian Kerja

Jenis - Jenis Perjanjian Kerja ~ Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja / buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Dalam ketentuan Pasal 1 (14) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan :
"Perjanjian kerja pada dasarnya harus memuat pula ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan hubungan kerja itu, yaitu hak dan kewajiban pekerja/buruh dan hak dan kewajiban pengusaha". Ketentuan-ketentuan ini dapat pula ditetapkan dalam peraturan perusahaan yaitu peraturan yang secara sepihak ditetapkan dalam peratuan perusahaan. Dapat pula ditetapkan dalam suatu perjanjian, hasil musyawarah antara serikat pekerja (serikat pekerja seluruh Indonesia misalnya) dengan pihak pengusaha, perjanjian ini disebut Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

Secara hukum dikenal 2 (dua) macam Perjanjian Kerja (PK) ataupun Pekerja yaitu :
  1. Pekerja Kontrak (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu = PKWT); dan 
  2. Pekerja Tetap (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu = PKWTT).
 
    Jenis - Jenis Perjanjian Kerja
    Jenis - Jenis Perjanjian Kerja

    I. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)


    PKWT adalah Perjanjian Kerja antara Buruh dengan pengusaha yang ditentukan berdasarkan pada jangka wqaktu tertentu. Menurut Pasal 56 ayat 2 (UU No.13 Tahun 2003, Pembuatan PKWT berdarkan atas :
    1. Jangka waktu; dan
    2. Selesainya pekerjaan tertentu.
    Prinsip hukum dari PKWT yang mendasarkan pada jangka waktu tertentu , dapat diadakan untuk paling lama dua tahun dan diperpanjang satu kali paling lama satu tahun.

    Pekerja Kontrak diartikan secara hukum adalah Pekerja dengan status bukan Pekerja tetap atau dengan kalimat lain Pekerja yang bekerja hanya untuk waktu tertentu berdasar kesepakatan antara Pekerja dengan Perusahaan pemberi kerja. Dalam istilah hukum Pekerja kontrak sering disebut “Pekerja PKWT”, maksudnya Pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

    Pengusaha tidak boleh mengubah status Pekerja Tetap menjadi Pekerja Kontrak. Apabila itu dilakukan akan melanggar hukum. Secara aturan hukum tidak mengatur eksplisit mengenai hal ini, namun justifikasi yang dapat disampaikan adalah bahwa status pekerja dari pekerja tetap menjadi pekerja kontrak adalah sama saja dengan penurunan status. Penurunan status pekerja dari tetap menjadi kontrak adalah masuk kategori Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dari perusahaan dan dalam satu waktu yang sama pengusaha mengangkat kembali pekerja (tetap) tersebut menjadi pekerja kontrak.

    UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 56 menyatakan :
    • Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
    • Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas:
    1. jangka waktu; atau
    2. selesainya suatu pekerjaan tertentu.
    Salah satu hal yang sangat penting yang harus diperhatikan oleh Pekerja Kontrak adalah Pekerja Kontrak harus memiliki/mendapatkan Surat Perjanjian Kerja yang ditandatangani oleh Pengusaha dan Pekerja yang bersangkutan.

    Prof. Imam Soepomo berpendapat hubungan hukum antara pekrja/buruh dengan pengusaha, terjadi setelah diadakan perjanjian, dimana pekerja/buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah, dan dimana pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh denan membayar upah. Perjanjian kerja yang menimbulkan hubungan kerja mempunyai unsur :
    1. Pekerjaan;
    2. Upah; dan 
    3. Perintah. 
    Dengan demikian agar dapat disebut perjanjian kerja harus dipenuhi tiga unsur, yaitu sebagai berikut :

    a. Ada orang dibawah pimpinan orang lain

    Adanya unsur perintah menimbulkan adanya pimpinan orang lain. Dalam perjanjian kerja unsur perintah ini memegang peranan yang pokok, sebab tanpa adanya unsur perintah, hal itu bukan perjanjian kerja. Dengan adanya unsur perintah dalam perjanjian kerja, kedudukan kedua belah pihak tidak sama yaitu pihak satu kedudukannya diatas (pihak yang memerintah) sedangkan pihak lain kedudukannya dibawah (pihak yang diperintah). Kedudukan yang tidak sama ini disebut hubungan subordinasi serta ada yang menyebutnya hubungan kedinasan.

    Oleh karena itu kalau kedudukan kedua belah pihak tidak sama atau ada subordinasi, disitu ada perjanjaian kerja. Sebaliknya jika kedudukan kedua belah pihak sama atau ada koordinasi , disitu tidak ada perjanjian kerja, melainkan perjanjian yang lain .

    b. Penunaian kerja

    Penunaian kerja maksudnya melakukan pekerjaan. Disini tidak dipakai istilah melakukan pekerjaan sebab istilah tersebut mempunyai arti ganda. Istilah melakukan pekejaan dapat berarti persewaan tenaga kerja atau penunaian kerja. Dalam penunaian kerja yang tersangkut dalam kerja adalah tenaga manusia , sehingga upah sebagai kontraprestasi dipandang dari sudut ekonomis. Dalam penunaian kerja yang tersangkut dalam kerja adalah manusia itu sendiri sehingga upah segbagi kontraprestasi dipandang dari sudut social ekonomis.

    c. Adanya upah.

    Upah menurut Pasal 1 angka 30 undang-undang ketenagakerjaan adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjain kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah dan/atau akan dilakukan. Jadi, upah adalah imbalan termasuk tunjangan yang diterima pekerja/buruh.

    Ketentuan Umum PKWT Menurut Kepmenaker No. 100 Tahun 2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
    • Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu.
    • Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu yang selanjutnya disebut PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.
    • Pengusaha adalah :
    1. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
    2. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
    3. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
    • Perusahaan adalah :
    1. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam entuk lain;
    2. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
    • Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
    Syarat kerja yang diperjanjikan dalam PKWT, tidak boleh lebih rendah daripada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menteri dapat menetapkan ketentuan PKWT khusus untuk sektor usaha dan atau pekerjaan tertentu.

    Jenis Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

    Perjanjian kerta waktu tertentu selanjutnya disebut PKWT diatur secara khusus dalam Pasal 56 s/d 63 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : KEP.100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), dalam praktek sebagai panduan teknis adalah Keputusan Menteri terebut diatas.

    Jenis-jenis PKWT  yang dapat dilakukan Pekerja/Pekerja Kontrak Berdasar Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yaitu :

    1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
    • pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
    • pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
    • pekerjaan yang bersifat musiman; atau
    • pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
    2) Perjanjian Kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang besifat tetap.
    Penjelasan Pasal 59 ayat (2) :

    Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman.

    Pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi, tetapi tergantung cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu maka pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi obyek perjanjian kerja waktu tertentu.

    Sesuai Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Tranmigrasi Republik Indonesia : Kep. 100/Men/VI/2004 Ketentuan PKWT khusus untuk sector usaha dan atau pekerjaan tertentu, yaitu :

    a. Pekerjaan yang sekali selesaiatau yang sementara sifatnya

    PKWT Untuk Pekerjaan Yang Sekali Selesai Atau Sementara Sifatnya Yang Penyelesaiannya Paling Lama 3 (tiga) Tahun :
    • PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu. Dibuat untuk paling lama 3 (tiga) tahun.
    • Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT sebagaimana dimaksud dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saaat selesainya pekerjaan.
    • Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai.
    • Dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan pembaharuan PKWT.
    • Pembaharuan sebagaimana dimaksud dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja.
    • Selama tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud tidak ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha.
    • Para pihak dapat mengatur lain dari ketentuan dalam ayat (5) dan ayat (6) yang dituangkan dalam perjanjian.
    Dalam Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP.100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), yaitu :
    1. PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu.
    2. PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat untuk paling lama 3 (tiga) tahun. 
    3. Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saaat selesainya pekerjaan.

    b. PKWT Untuk Pekerjaan Yang Bersifat Musiman

    Dalam Pasal 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP.100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), yaitu :
    1. Pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca.
    2. KWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu.
    Pasal 5 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP.100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), yaitu :
    1. Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu dapat dilakukan dengan PKWT sebagai pekerjaan musiman.
    2. PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan.

    c. PKWT Untuk Pekerjaan Yang Berhubungan Dengan Produk Baru

    Dalam Pasal 8 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP.100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), yaitu :
    1. PKWT dapat dilakukan dengan pekerja/buruh untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
    2. PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama 1 (satu) tahun.
    3. PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan pembaharuan.

    d. Perjanjian Kerja Harian Atau Lepas


    Dalam Pasal 10 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP.100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), yaitu : 
    1. Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan  pada kehadiran,  dapat dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau lepas.
    2. Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21  (dua puluh satu ) hari dalam 1 (satu)bulan. 
    3. Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT.
    • Perjanjian kerja harian lepas yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dikecualikan dari ketentuan jangka waktu PKWT pada umumnya.
    • Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh pada pekerjaan sebagaimana dimaksud wajib membuat perjanjian kerja harian lepas secara tertulis dengan para pekerja/buruh.
    • Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dapat dibuat berupa daftar pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan sebagaimana dimaksud sekurang-kurangnya memuat :
    a. nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja.
    b. nama/alamat pekerja/buruh.
    c. jenis pekerjaan yang dilakukan.
    d. besarnya upah dan/atau imbalan lainnya.
    • Daftar pekerja/buruh sebagaimana dimaksud disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak mempekerjakan pekerja/buruh.
    JIka Buruh bekerja pada hari minggu atau hari hari besar yang ditetapkan Pemerintah, maka itu dikategorikan sebagai Lembur dengan perhitungan Upah Lembur. Cara Perhitungan Upah lembur adalah kini diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP.102/MEN/VI/2004 dengan Ketentuan sebagai berikut :
    1. Pada hari Kerja Biasa. Untuk satu Jam pertama dibayar 1 ,5 upah sejam dan untuk tiap-tiap jam berikutnya dibayar 2 x upah sejam.
    2. Pada Hri Istrahat, mingu dan libur resmi. Untuk batas 7 jam kerja pada hari minggu atau (senin-Jumat) dan 5 Jam kerja pada hari kerja pendek (sabtu) dibayar 2 x upah sejam dan untuk satu jam berikutnya dibayar 3 x upah sejam sedangkan untuk tiap-tiap jam beikutnya dibayar 4 x upah sejam.

    Pencatatan PKWT :

    • PKWT wajib dicatatkan oleh pengusaha kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penandatanganan.
    • Untuk perjanjian kerja harian lepas maka yang dicatatkan adalah daftar pekerja/buruh.
    Pembatasan waktu maksimal bagi masa kerja bagi Pekerja Kontrak berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 59 ayat (4) yang menyatakan : "Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun". Dan Pasal 59 ayat (6) yang menyatakan : "Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun".

    Jadi, Pekerja Kontrak dapat dikontrak maksimal selama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk selama maksimal 1 (satu) tahun.

    Namun apabila Pengusaha merasa cocok dengan kinerja Pekerja Kontrak, dapat dilakukan pembaruan PKWT dengan ketentuan hanya boleh dilakukan sekali untuk waktu maksimal 2 (dua) tahun.

    Akibat hukum bagi Pengusaha yang mempekerjakan Pekerja Kontrak namun tidak seperti aturan diatas Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 59 ayat (7) yang menyatakan : "Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu".

    Berdasar aturan hukum tersebut misalnya jika ada Pekerja yang dikontrak 5 (lima) tahun maka Pekerja tersebut secara hukum, setelah 3 (tiga) tahun waktu ia bekerja menjadi Pekerja tetap.
    Masa Percobaan tidak dapat di terapkan pada Pekerja Kontrak/PKWT. Hal ini berdasar Pasal 58 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan :
    1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.
    2. Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.
    Jadi, Pekerja Kontrak yang diminta oleh Perusahaan untuk menjalani Masa Percobaan secara hukum tidak benar. 

    PKWT yang sudah ditandantangani tidak dapat diputuskan secara sepihak oleh pengusaha. Jika salah satu pihak melakukan pemutusan PKWT secara sepihak maka sesuai dengan Pasal 62 UU No. 13 Tahun 2003 menetapkan bahwa “Apabila Salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam PKWT, atau akhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan keja wajib membayar ganti-rugi kepada pihak lainnya sebesar upah buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja".

    Semetara itu, Pasal 61 Ayat (1) UU No. 13 /2003 mengatur Perjanjian Kerja Berakhir apabila :
    • Pekerja Meninggal Dunia;
    • Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
    • Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian Perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
    • Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berkahirnya hubungan kerja.
    Dari uraian diatas sangat jelas, bahwa PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat menetap yaitu pekerjaan yang sifatnya terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman. Apabila pekerjaan itu tidak terus-menerus, terputus-putus, dibatasi waktu dan bukan merupakan bagian dari suatu proses produksi, tergantung cuaca atau pekerjaan tersebut merupaka pekerjaan musiman \yang tidak termasuk pekerjaan tetap. Sehingga dapat dijadikan objek perjanjian kerja waktu tertentu.

    II. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu


    Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu  yang selanjutnya disebut PKWTT  adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.
     
    Dalam Pasal 15 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP.100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) :
    1.  PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.
    2. Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), atau Pasal 5 ayat (2), maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.
    3. Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru menyimpang dari ketentuan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3), maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan.
    • Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut.
    • Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan hubungan kerja PKWT sebagaimana dimaksud di atas, maka hak-hak pekerja/buruh dan prosedur penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan bagi PKWTT.

    III. Perjanjian Magang


    Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, dikenal berbagai macam bentuk pemagangan (magang) yakni pemagangan dalam rangka pelatihan kerja, pemagangan untuk tujuan akademis, dan magang untuk pemenuhan kurikulum atau persyaratan suatu profesi tertentu. Pemagangan untuk tujuan akademis, pemenuhan kurikulum atau persyaratan suatu profesi tertentu, contohnya adalah :
    • Ketentuan pendidikan dan pelatihan praktek kedokteran (koas/magang) dalam rangka uji kompetensi dokter Indonesia berdasarkan Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran;
    • Pemagangan untuk memenuhi persyaratan menjadi seorang advokat yang dilakukan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun (vide Pasal 3 ayat [1] huruf g UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Jo Pasal 6 Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia No. 1 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang Untuk calon Advokat); 
    • Persyaratan magang bagi calon Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut (vide Pasal 3 huruf f UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris jo Pasal 2 ayat [1] huruf I Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M.01-HT.03.01 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Perpindahan dan Pemberhentian Notaris).
    Jadi, pemagangan dalam UU 13 tahun 2003 tntang Ketenagakerjaan dimaksudkan untuk pelatihan kerja dan peningkatan kompetensi kerja, bukan untuk tujuan akademis, pemenuhan kurikulum/persyaratan suatu profesi tertentu.
    Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu ( kententuan Pasal 1 ayat (11) UU NO 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan juncto Pasal 1ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.22/MEN/IX/2009 Tentang Penyelenggaraan Pemagangan Di Dalam Negeri.
    Salah satu ciri utama pemagangan adalah bahwa para peserta terlibat langsung dalam proses produksi (barang atau jasa), sehingga dalam penyelenggaraan pemagangan mutlak adanya perusahaan. Pemagangan dilaksankan berdasarkan perjanjian pemagangan.
    Perjanjian pemagangan adalah perjanjian antara peserta pemagangan dengan penyelenggara pemagangan yang dibuat secara tertulis yang memuat hak dan kewajiban serta jangka waktu pemagangan (Pasal 1 ayat 10 Peraturan Menteri Tenaga kerja RI No:22/MEN/IX/2009).
    Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap,dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan (Pasal 1 (9) UU No 13/2003).
    Sebagai upaya memaksimalkan pelatihan kerja, perusahaan yang wajib meningkatkan kompetemsi pekerja/buruh melalui pelatihan kerja adalah perusahaan yang mempekerjakan seratus orang atau lebih, dan pelatihan sebagaimana dimaksud harus sekurang-kurangnya 5 % dari jumlah pekerja/buruh diperusahaan tersebut setiap tahun ( Pasal 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No: KEP.261/MEN/XI/2004.
    Selanjutnya perusahan dan atau lembaga yang menyelenggarakan pelatihan kerja wajib memberikan surat tamat pelatihan kerja bagi peserta yang dinyatakan lulus (Pasal 7 ayat1) dan perusahaan melaporkan pelaksanaan kegiatan pelatihan kerja secara piodik sesuai dengan Undang-undang No 7 tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan.
    Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI pemagangan dalam negeri pada 2010 mencapai 10.000 orang sementara luar negeri 2.250 orang. peserta pemagangan mulai dari 1993 hingga 2010 di negeri Sakura itu telah mencapai 41.057 orang. Sedangkan jumlah pemagangan dalam negeri dari 2007- 2010 mencapai 27.740 orang.
    Sementara untuk rencana pemagangan dalam negeri pada 2011 ini mencapai 10.000 orang. Upaya pemerintah tersebut dalam rangka meningkatkan kompetensi kerja. Bahwa magang dimaksudkan untuk melatih calon tenaga kerja agar memiliki keahlian dan ketrampilan yang matang sehingga mudah terserap di dunia kerja.
    Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.(pasa1 (10) Peraturan Menteri tenaga kerja NO: 21/MEN/X/2007.

    Ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian magang telah ditentukan secara lengkap berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.22/MEN/IX/2009 tentang penyelenggaraan pemagangan di dalam negeri sebagai berikut :
    Pasal 4 : Perusahaan hanya dapat menerima peserta pemagangan paling banyak 30% dari jumlah karyawan.

    Pasal 5 :
    1. Peserta pemagangan di dalam negeri terdiri dari: pencari kerja, siswa LPK, dan tenaga kerja yang akan ditingkatkan kompetensinya.
    2. Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengikuti pemagangan apabila telah memenuhi persyaratan:
    • usia minimal 18 (delapan belas) tahun; 
    • memiliki bakat, minat, dan memenuhi persyaratan yang sesuai dengan program pemagangan; dan
    • menandatangani perjanjian pemagangan.
    Pasal 6 Penyelenggara pemagangan harus memiliki :
    • program pemagangan;
    • sarana dan prasarana;
    • tenaga pelatihan dan pembimbing pemagangan; dan
    • pendanaan.
    Pasal 7 :
    • Program pemagangan dapat disusun oleh perusahaan dan/atau bersama‑sama LPK.
    • Program Pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
    1. nama program;
    2. tujuan program;
    3. jenjang kualifikasi tertentu dan/atau kompetensi yang akan dicapai dalam jabatan tertentu;
    4. uraian pekerjaan atau unit kompetensi yang akan dipelajari;
    5. jangka waktu pemagangan;
    6. kurikulum dan silabus; dan
    7. sertifikasi.
    • Program pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada:
    1. SKKNI;
    2. Standar Internasional; dan/atau
    3. Standar Khusus.
    • Jangka waktu pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, dibatasi paling lama 1 (satu) tahun.
    • Dalam hal untuk mencapai kualifikasi kompetensi tertentu akan memerlukan waktu lebih dari 1 (satu) tahun, maka harus dituangkan dalam perjanjian pemagangan baru dan dilaporkan kepada dinas kabupaten/kota setempat.
    • Program pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diketahui dan disahkan oleh dinas kabupaten/kota setempat.
    Pasal 8 Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b harus dapat memenuhi kebutuhan untuk menyelenggarakan pelatihan:
    • teori;
    • simulasi/praktik;
    • bekerja secara langsung di bawah bimbingan pekerja yang berpengalaman sesuai dengan program pemagangan; dan
    • keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
    Pasal 9 Pembimbing pemagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c dapat membimbing peserta pemagangan sesuai dengan kebutuhan program pemagangan.

    Pasal 10 Penyelenggara pemagangan tidak diperbolehkan mengikutsertakan peserta yang telah mengikuti program pemagangan pada program/ jabatan/kualifikasi yang sama.

    Pasal 11 :
    1. Penyelenggaraan pemagangan dilaksanakan atas dasar perjanjian tertulis antara peserta pemagangan dengan perusahaan.
    2. Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
    • Hak dan kewajiban peserta;
    • Hak dan kewajiban penyelenggaraan program;
    • Jenis program dan kejuruan.
    Pasal 12 :
    1. Perjanjian pemagangan antara peserta pemagangan dengan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 harus diketahui dan disahkan oleh dinas kabupaten/kota setempat.
    2. Pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selesai dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja.
    Pasal 15 :
    • Peserta pemagangan berhak untuk:
    1. Memperoleh fasilitas keselamatan dan kesehatankerja selama mengikuti pemagangan;
    2. Memperoleh uang saku dan/atau uang transport;
    3. Memperoleh perlindungan dalam bentuk jaminan kecelakaan kerja dan kematian; dan
    4. Memperoleh sertifikat pemagangan apabila dinyatakan lulus.
    • Penyelenggara pemagangan berhak untuk:
    1. Memanfaatkan hasil kerja peserta pemagangan; dan
    2. Memberlakukan tata tertib dan perjanjian pemagangan.
    Pasal 16 :
    • Peserta pemagangan berkewajiban untuk:
    1. Mentaati perjanjian pemagangan;
    2. Mengikuti program pemagangan sampai selesai;
    3. Mentaati tata tertib yang berlaku di perusahaanpenyelenggaran pemagangan dan
    4. Menjaga nama baik perusahaan penyelenggara pemagangan.
    • Penyelenggara pemagangan berkewajiban untuk:
    1. Membimbing peserta pemagangan sesuai denganprogram pemagangan;
    2. Memenuhi hak peserta pemagangan sesuai dengan perjanjian pemagangan;
    3. menyediakan alat pelindung diri sesuai dengan persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja (K3);
    4. memberikan perlindungan dalam bentuk asuransi kecelakaan kerja kepada peserta;
    5. memberikan uang saku dan/atau uang transport peserta;
    6. mengevaluasi peserta pemagangan; dan
    7. memberikan sertifikat pemagangan bagi peserta yang dinyatakan lulus.
    Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (1) juncto Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (UU Jamsostek), pada prinsipnya setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja, yang meliputi jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JK) dan jaminan hari tua (JHT) serta jaminan pelayanan kesehatan (JPK).
    Namun, khusus untuk tenaga kerja yang magang, berdasarkan Pasal 8 ayat (2) huruf a UU Jamsostek hanya diwajibkan ikut Jamsostek untuk program JKK saja. Artinya, tidak wajib ikut program JK, JHT dan JPK.
    Produk akhir dari pemagangan dalam rangka pelatihan kerja adalah sertifikasi kompetensi kerja. Hal ini diakui dalam Pasal 23 UU Ketenagakerjaan: Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi.
    Sedangkan, produk dari pemagangan dalam rangka persyaratan akademis atau pemenuhan kurikulum/persyaratan suatu profesi tertentu, adalah sertifikat magang untuk persyaratan minimal (minimum requirement) suatu jabatan atau profesi.
    Realitas kondisi kerja dengan hak-hak legalnya yang umumnya belum terpenuhi, jika selama ini kita lebih terfokus pada pekerja tetap/PKWTT, sayangnya kita kerap alpa juga memperhatikan hak-hak pekerja magang. Mantan Menteri Tenaga Kerja Dr.Ir. Erman suparno, MSI.,MBA menyatkan dalam bukunya National Manpower Strategy (strategi ketenagakerjaan Nasional ) :  Pekerja magang yang sebagaian mengisi tanggung jawab dalam mengerjakan berbagai tugas diperusahaan layaknya pekerja permanen, umunya tidak memperoleh upah.

    Sumber Hukum :

    1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,
    2. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu,
    3. Putusan Mahkamah Agung No 131K/PDT.SUS/2007 dalam Farianto &Himpunan Putusan Mahkamah Agung dalam Perkara PHI tentang Pemutusan Hubungan Kerja disertai Ulasan Hukum. Jakarta, PT.RajaGrafindo persada, 2009, 
    4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerj,
    5. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran,
    6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat 
    7. Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Magang Untuk Calon Advokat,
    8. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
    9. Peraturan Menteri Hukum Dan HAM No. M.01-HT.03.01 Tahun 2006 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pengangkatan, Perpindahan dan Pemberhentian Notaris).

    Referensi :

    1. Iman Soepomo, 1985, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta,
    2. F.X. Djumialdji, Perjanjian Kerja, Cetakan Kedua,Sinar Grafika, Jakarta, 2006,
    3. F.X. Djumialdji dan Wiwoho Soejono. 1985. Perjanjian Perburuhan dan Hubungan
      Perburuhan Pancasila, Bina Aksara, Jakarta.
    4. Lalu Husni, 2004, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan
      Di Luar Pengadilan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004,
    5. Maimun, 2003, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Pradnya Paramita, Jakarta,
    6. Zainal Asikin, Agusfian Wahab, Lalu Husni, Zaeni Asyhedie, 2004, Dasar-Dasar Hukum
      Perburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
    7. http://artonang.blogspot.co.id/2014/12/hak-hak-tenaga-kerja-yang-di-phk.html
    8. http://artonang.blogspot.co.id/2014/12/perjanjian-perburuhankesepakatan-kerja.html
    9. http://artonang.blogspot.co.id/2014/12/peraturan-kerja-harian-atau-karyawan.html
    10. http://artonang.blogspot.co.id/2014/12/peraturan-perusahaan.html
    11. http://artonang.blogspot.co.id/2014/12/perjanjian-kerja-waktu-tertentu.html

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar