Minggu, 22 Mei 2016

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) ~ Dalam peraturan perundang-undangan, terdapat landasan hukum dalam terbentuknya peraturan perundang-undangan.

Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat berwenang dan mengikat secara umum atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
 
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Peraturan perundang-undangan memuat aturan dan mekanisme hubungan antarwarga negara, antara warga negara dan negara, serta antara warga negara dengan pemerintah (pusat dan daerah), dan antarlembaga negara.

Peraturan perundang-undangan nasional adalah suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku di wilayah suatu negara, seperti negara Indonesia. Jadi, peraturan perundang-undangan nasional adalah aturan-aturan yang dibuat oleh lembaga-lembaga negara yang berwenang untuk dipatuhi oleh seluruh warga negara dalam lingkup nasional. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan berlaku bagi semua warga negara Indonesia tanpa terkecuali.

Peraturan perundangan ditujukan untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, semua warga negara wajib menaati peraturan perundang-undangan.

Bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang-undangan yang baik, maka perlu dibuat peraturan yang memuat mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan dengan cara metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat segala aspek dalam lembaga yang berwenang untuk membetuk peraturan perundang-undangan. Pasal 22A UUD NKRI Tahun 1945 menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan undang-undang yang diatur dengna undang-undang. Selanjutnya, dijabarkan dalam UU RI No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Di dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 12. Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dijelasan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan.
  • Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
  • Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan di bentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
  • Program legislasi nasional yang selanjutnya disebut prolegna adalah instrumen perencanaan program pembentukan peraturan daerah provinsi atau peraturan daerah kabupaten/kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.
  • Program legislasi daerah yang disebut dengan progleda adalah instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara terencana terpadu dan sistematis.
  • Pengundangan adalah penempatan peraturan perundang-undangan dalam lembaga negara Republik Indonesia, berita negara Republik Indonesia, tambahan berita negara Republik Indonesia, lembaga daerah, tambahan lembaran daerah atau berita daerah.
  • Materi muatan peraturan perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan jenis, fungsi dan hierarki peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan ini dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang atau legislatif. Dengan demikian, terdapat struktur atau tata perundang-undangan dalam sebuah negara. Pada peraturan perundang-undanga yang dikeluarkan oleh lembaga yang lebih rendah harus mengacu atau tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh lembaga yang lebih tinggi. Contohnya, perda provinsi yang mengatur tentang pendapatan daerah tidak boleh bertentangan dengan UU yang ditetapkan lembaga perwakilan rakyat di pusat.

Semua peraturan perundang-undangan memiliki sifat dan ciri-ciri, yaitu sebagai berikut :
  • Peratran perundang-undangan dalam wujud peraturan tertulis,
  • Peraturan perundang-undangan dibentuk, ditetapkan, dan di keluarkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang baik di tingkat pusat maupun didaerah,
  • Peraturan perundang-undangan berisi aturan pola tingkah laku atau norma hukum,
  • Peraturan perundang-undangan mengikat secara umum dan menyeluruh.

A. Pengertian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Perpu adalah singkatan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau disingkat Perpu atau Perppu). Perpu adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah sama dengan materi muatan Undang-Undang.

Perpu ditandatangani oleh Presiden. Setelah diundangkan, Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut, dalam bentuk pengajuan RUU tentang Penetapan Perpu Menjadi Undang-Undang. Pembahasan RUU tentang penetapan Perpu menjadi Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan RUU. DPR hanya dapat menerima atau menolak Perpu.

Jika Perpu ditolak DPR, maka Perpu tersebut tidak berlaku, dan Presiden mengajukan RUU tentang Pencabutan Perpu tersebut, yang dapat pula mengatur segala akibat dari penolakan tersebut.

Dalam (Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan), yang harus segera diatasi, karena pembentukan Undang-Undang memerlukan waktu yang relative lama. “noodverordeningsrecht” atau “hak Presiden untuk mengatur kegentingan yang memaksa” tidak selalu ada hubungannya dengan keadaan bahaya, tetapi cukup apabila menurut keyakinan Presiden terdapat keadaan mendesak dan dibutuhkan peraturan yang mempunyai derajat Undang-Undang. Dan PERPU tidak dapat ditangguhkan sampai DPR melakukan pembicaraan pengaturan keadaan tersebut. Jangka waktu berlakunya PERPU ialah terbatas, sebab harus dimintakan persetujuan oleh DPR untuk dijadikan Undang-Undang ataukah dicabut.

Kedudukan Perrpu dalam hirarki peraturan perundang-undangan adalah sederajat dengan Undang-Undang. Demikian pula, materi muatan yang diatur dalam Perpu sama dengan materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang. Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Kewenangan Presiden untuk membentuk Perpu menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, hanya dapat dilaksanakan apabila terdapat keadaan yang genting atau keadaan yang memaksa. Dengan demikian, Presiden tidak perlu menunggu persetujuan dari DPR untuk membentuk Perrpu.

Namun setelah Perpu disahkan, Presiden harus mengajukan kembali Perrpu tersebut dalam bentuk rancangan Undang-Undang tentang penetapan Perpu menjadi Undang-Undang kepada DPR. Pengajuan Perpu kepada DPR harus dilakukan dalam persidangan berikutnya setelah Perpu disahkan oleh Presiden. Yang dimaksud dengan persidangan berikutnya adalah masa persidangan Dewan Perwakilan Rakyat yang diantaranya hanya terdapat satu masa reses.

Apabila rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Perrpu menjadi Undang-Undang ditolak oleh DPR, maka Perrpu tersebut tidak dapat berlaku lagi. Untuk itu, Presiden harus mengajukan rancangan Undang-Undang tentang pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang juga dapat memuat pengaturan terhadap segala akibat yang timbul dari penolakan perubahan Peerpu menjadi Undang-Undang.

Berdasarkan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan PERPU yaitu :
  1. Adanya keadaan yaitu kebutuhanmendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
  2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
  3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

B. Fungsi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Fungsi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) pada dasarnya sama dengan fungsi dari undang-undang. Perbedaan keduanya terletak pada Pembuatnya, Undang-undang dibuat oleh Presiden bersama-sama dengan DPR dalam keadaan normal sedangkan PERPU dibuat oleh Presiden. Perbedaan lainnya adalah Undang-undang dibuat dalam suasana (keadaan) normal, sedangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dibuat dalam keadaan kegentingan yang memaksa.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (“Perpu”) disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) :
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.”

Penetapan Perpu yang dilakukan oleh Presiden ini juga tertulis dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”)yang berbunyi :
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.”

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) merupakan suatu peraturan yang bertindak sebagai suatu Undang-Undang. PERPU ditetapkan oleh Pemerintah dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, yang harus segera diatasi, karena pembentukan Undang-Undang memerlukan waktu yang relative lama.

Noodverordeningsrecht” atau “hak Presiden untuk mengatur kegentingan yang memaksa” tidak selalu ada hubungannya dengan keadaan bahaya, tetapi cukup apabila menurut keyakinan Presiden terdapat keadaan mendesak dan dibutuhkan peraturan yang mempunyai derajat Undang-Undang. Dan PERPU tidak dapat ditangguhkan sampai DPR melakukan pembicaraan pengaturan keadaan tersebut.

Jangka waktu berlakunya PERPU ialah terbatas, sebab harus dimintakan persetujuan oleh DPR untuk dijadikan Undang-Undang ataukah dicabut.

  1. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang tegas-tegas menyebutnya,
  2. Pengaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya dalam Batang Tubuh UUD 1945,
  3. Pengaturan lebih lanjut dalam ketetapan MPR yang tegas-tegas menyebutnya,
  4. Pengaturan di bidang materi konstitusi.
Fungsi Perpu adalah mengatur lebih lanjut sesuatu substansi dalam keadaan hal-ihwal kegentingan yang memaksa berdasarkan Pasal 22 UUD 1945, dengan ketentuan sebagai berikut:
  • Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut;
  • DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan;
  • Jika ditolak DPR Perpu tersebut harus dicabut.
Fungsi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) pada dasarnya sama dengan fungsi dari undang-undang. Perbedaan keduanya terletak pada Pembuatnya, undang-undang dibuat oleh Presiden bersama-sama dengan DPR dalam keadaan normal sedangkan PERPU dibuat oleh Presiden. Perbedaan lainnya adalah Undang-undang dibuat dalam suasana (keadaan) normal, sedangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dibuat dalam keadaan kegentingan yang memaksa.

Perpu dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 menyatakan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :
  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

C. Proses Penyususnan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Proses Penyusunan PERPU adalah sebagai berikut :
  1. PERPU harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut (persidangan pertama DPR setelah PERPU ditetapkan oleh Presiden);
  2. Pengajuan PERPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan RUU tentang penetapan PERPU menjadi Undang-Undang;
  3. DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap PERPU;
  4. Dalam hal PERPU mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, PERPU tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang;
  5. Dalam hal PERPU tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, PERPU tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku;
  6. Dalam hal PERPU harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan PERPU;
  7. RUU tentang Pencabutan PERPU sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan PERPU;
  8. RUU tentang Pencabutan PERPU sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang Pencabutan PERPU dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5).


D. Tata Cara Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Tata cara pembentukan perpu dalam Pasal 25 disebutkan sebagai berikut :
  • Peraturan pemerintah pengganti undang-undang harus diajukan pengajuan ke DPR dalam persidangan berikut.
  • Pengjuan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan perpu menjai undang-undang.
  • Dalam hal perpu ditolak DPR maka perpu tersebut tidak berlaku.
  • Dalam hal perpu ditolak DPR maka Presiden mengajukan RUU tentang pencabutan perpu.

1. Penolakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Oleh DPR Dan Akibat Hukumnya

Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang merupakan salah satu sumber tertib hukum di Indonesia. Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang merupakan hak inisiatif dankewenangan yang diberikan oleh konstitusi kepada Presiden yang keberlakuannya mengikat layaknya Undang-Undang. 

Pertimbangan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang adalah hal ikhwal kegentingan yang memaksa, yang penilaiannya tergantung kepada subyektifitas Presiden. Terkait hal ihwal kegentingan yang memaksa ini, belum ada kriteria dan standar yang jelas untuk suatu hal dikatakan kegentingan yang memaksa dalam hal bernegara. Untuk menghindari penyalahgunaan wewenang yang dibenarkan oleh Undang-Undang, maka dibutuhkan penilaian dari Dewan Perwakilan Rakyat untuk menetapkan PERPU menjadi Undang-Undang. adapun penilaian dariDewan Perwakilan Rakyat terhadap Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah disetujui atau ditolak. 

Permasalahan muncul ketika PERPU ditolak oleh Dewan PerwakilanRakyat. Bagaimana akibat hukumnya atas penolakan PERPU oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden harus mengajukan rancangan Undang-Undang pencabutan PERPU yang dapat mengatur segala akibat dari penolakan tersebut. Sedangkan pengujian terhadap PERPU (Perpu) dalam konstitusi dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah jelas diatur bahwa Dewan Perwakilan Rakyat melakukan penilaian atau melakukan pengujian politik (political review) atas PERPU. Apabila disetujui menjadi Undang-Undang, maka Undang-Undang tersebut baru dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi.

2. Menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)

Landasan hukum dari PERPU adalah Pasal 22 UUD 1945 yang berbunyi :
  1. Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
  2. Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
  3. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Dari ketiga ayat dalam Pasal 22 jelas-jelas disebutkan peraturan pemerintah. Namun peraturan pemerintah menurut Pasal 22 ini adalah sebagai pengganti undang-undang. Hal ini berarti bahwa apa yang kita sebut sebagai PERPU bukanlah undang-undang atau sederajat dengan undang-undang. PERPU adalah istilah yang diciptakan kemudian dan tidak terdapat dalam UUD 1945. Pasal 22 ayat (2) menggunakan istilah peraturan pemerintah dan demikian juga dengan ayat (3). Dengan adanya ketentuan yang menyebutkan peraturan pemerintah dalam Pasal 22, maka menjadi jelas bahwa menurut UUD 1945 terdapat dua macam peraturan pemerintah, yaitu :
  1. Peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945), dan
  2. Peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Pasal 22 ayat (1)).
Karena keduanya adalah sama-sama peraturan pemerintah maka keduanya sudah barang tentu sederajat. Jadi bahwa peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang itu memuat materi muatan yang merupakan materi muatan undang-undang tidak menjadikan PERPU itu setara dengan undang-undang. Baik Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945 maupun Pasal 22 Ayat (1) menggunakan kata “menetapkan” untuk kedua macam peraturan pemerintah itu.

Hal ini terjadi karena Presiden yang menetapkan peraturan pemerintah untuk melaksakan undang-undang menurut Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945 adalah juga Presiden yang sama dengan yang menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 Ayat (1).

Berhubung Presiden yang menetapkan pertauran pemerintah sebagai pelaksanaan UU adalah presiden dan sama dengan presiden yang menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang maka derajat dari kedua peraturan pemerintah itu adalah sama. Jadi peraturan pemerintah menurut Pasal 5 Ayat (2) adalah sederajat dengan peraturan pemerintah menurut Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945.

Memang ada kerancuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan menyangkut kedudukan dari PERPU ini. Pasal 7 ayat (1) huruf b menempatkan PERPU sederajat dengan UU. Dalam Pasal 4 UU ini ditentukan bahwa “Peraturan Perundang-undangan yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang ini meliputi Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya.” Pasal 4 terlihat menyebutkan bahwa ada uu dan peraturan di bawahnya. Namun dengan Pasal 7 ayat (1) huruf b tersebut ternyata yang dimaksudkannya adalah bahwa PERPU itu sederajat dengan UU.

3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Tidak Sederajat Dengan Undang-Undang (UU)

Defenisi dari PERPU disebutkan dalam Pasal 1 angka (4) yaitu Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.Pengertian tersebut tidak secara tegas menyebutkan bahwa ia sederajat dengan undang-undang. Sebagaimana disebutkan di atas, Pasal 7 Ayat (1) huruf b yang menempatkan PERPU sederajat dengan UU. Namun menjadi pertanyaan, jika PERPU sederajat dengan UU mengapa masih diperlukan persetujuan DPR dan setelah mendapat persetujuan lalu berubah menjadi UU. Mestinya, kalau PERPU sederajat maka PERPU itu akan tetap berlaku sebagai PERPU dan tidak dibutuhkan lagi persetujuan DPR. Dalam Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945 jelas dinyatakan bahwa peraturan pemerintah itu harus mendapatkan persetujuan DPR untuk masa sidang berikutnya.

Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan mengelaborasi lebih lanjut ketentuan dalam Pasal 22 UUD 1945 di dalam Pasal 25, yang berbunyi :
  1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
  2. Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang.
  3. Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut tidak berlaku.
  4. Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.
Sesuai Pasal 25 ayat (2) tersebut, pengajuan PERPU itu adalah dalam bentuk RUU tentang penetapan PERPU menjadi undang-undang. Ayat (3) menentukan lebih lanjut bahwa dalam hal PERPU ditolak maka perpu tersebut tidak berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa DPR lebih tinggi dari Presiden dalam hal keberlakuan lebih lanjut dari PERPU. Jika DPR menyetujui PERPU tersebut maka PERPU itu diangkat menjadi UU. Hal ini terjadi karena menurut Pasal 20 ayat (1) DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. JIka ketentuan dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 dihubungkan dengan dan Pasal 22 ayat (2) maka akan terlihat bahwa PERPU tersebut tidak setara dengan UU.

Dengan demikian dapat kita lihat bahwa PERPU itu sesungguhnya tidak sederajat dengan UU dan oleh karenanya tidak dapat diajukan pengujian ke MK. Bahwa PERPU ditempatkan sederajat dengan UU dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan menunjukkan adanya kebertentangan antara UU tersebut dengan UUD 1945 dan hal itu perlu diuji.

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Bersifat Provisional

Suatu PERPU bersifat sementara sampai DPR menyetujui dan jika menyetujui maka selanjutnya membentuk UU yang menetapkan PERPU sebagai UU. Jika ditolak maka PERPU itu harus tidak berlaku. Persetujuan DPR itu harus diberikan pada masa persidangan berikutnya dari DPR. Dalam Penjelasan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan disebutkan “Yang dimaksud dengan "persidangan yang berikut" adalah masa persidangan Dewan Perwakilan Rakyat yang hanya diantarai satu masa reses.” Ini berarti bahwa setelah hal ihwal kegentingan yang memaksa itu berakhir maka, PERPU itu harus diajukan ke DPR dalam bentuk RUU pada masa sidang berikutnya. Penjelasan Pasal 25 ayat (1) menegaskan bahwa hanya diantarai satu masa reses.

Jadi waktu antara diundangkannya suatu PERPU dengan pengajuan untuk persetujuan ke DPR tidak terlalu lama. Atau dengan kata lain kesementaraan itu ada batasannya waktunya dan waktu itu begitu singkat. Dalam kondisi sekarang, PERPU No. 4 tahun 2009 yang menjadi persoalan seyogyanya sudah harus diajukan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan DPR. Jika disetujui maka akan jadi UU dan jika ditolak maka PERPU itu tidak berlaku lagi.

E. Uji Materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Kepada Mahkama Konstitusi  

Tugas dan Wewenang dari Mahkamah Konstusi menurut UUD 1945 adalah :
  1. Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang keputusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewewenangan lembaga Negara yang kewewenangannya diberikan oleh UUD1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum.
  2. Wajib memberi keputusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
Wewenang Mahkamah Konstitusi meliputi :
  • Menguji Undang-Undang terhadap UUD 19451.
  • Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara 2. yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
  • Memutus pembubaran partai politik.3.
  • Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Permasalahan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan mekansime pengujian suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) harus diakui cukup sulit untuk dipecahkan. Sebagian para ahli hukum mengatakan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tak bisa diuji materi di Mahkama Konstitusi. Bahkan, mantan Ketua MK, Moh. Mahfud MD pernah berujar tegas soal itu. Perpu, kata Mahfud, hanya boleh diuji dengan legislatif review di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bukan judicial review ke MK. Jadi, MK tidak akan menguji materi Perpu. Demikian kata Mahfud. Ini diperkuat oleh ketentuan letterlijk Pasal 24C UUD 1945 yang menyebut "MK berwenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD".

Namun, karena ’lisan’ dan argumen sang Ketua itu tak mengikat secara hukum, maka tak ada larangan bagi pihak-pihak yang mengajukan permohonan uji materi Perpu ke MK. Setidaknya, dua Perpu sekarang sedang ’parkir’ di MK menanti diputus. Keduanya adalah Perpu Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Perpu Nomor 4 tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).

1. Koridor Sistem Konstitusi

Tentang Perpu, yang perlu diperhatikan pertama kali sebelum yang lainnya adalah bagaimana UUD 1945 mengaturnya. Artinya, menyoal Perpu tentu harus meletakkannya dalam koridor sistem yang dibangun dalam UUD 1945. Ada tiga hal sangat penting yang perlu dicermati dalam hal ini.
  • Pertama, dalam UUD 1945, Perpu diatur dalam Pasal 22 yang diletakkan pada Bab VII tentang DPR. Konstruksi yang demikian harus dipahami betul mengingat ketentuan Pasal 22 erat hubungannya dengan kewenangan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Pasal 22 UUD 1945 berisikan tiga hal, yaitu 1). pemberian kewenangan kepada Presiden untuk membuat Perpu, 2). Kewenangan itu hanya digunakan apabila terdapat keadaan genting dan memaksa, 3). Perpu harus mendapat persetujuan DPR pada persidangan berikutnya.
  • Kedua, UUD 1945 membedakan dengan jelas Perpu dengan Peraturan Pemerintah (PP). PP sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dibuat untuk tujuan menjalankan undang-undang. Sementara, Perpu yang diatur dalam Bab DPR materi muatannya seperti yang diatur dalam undang-undang, bukan untuk melaksanakan undang-undang. Karenanya, jika terjadi kekosongan undang-undang, entah oleh sebab apa sehingga materi undang-undang itu belum diproses untuk menjadi undang-undang sebagaimana tata cara yang berlaku, maka Pasal 22 menyediakan pranata khusus yaitu memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membuat Peraturan Pemerintah (sebagai) Pengganti Undang-Undang. Dalam hal ini, yang terpenting ialah adanya situasi dan kondisi mendesak yang membutuhkan aturan (undang-undang), sementara proses normal pembuatan undang-undang memerlukan waktu lama sehingga kebutuhan akan hukum yang mendesak itu tak dapat diatasi. Sederhananya, Perpu diperlu kan apabila memenuhi tiga parameter, yakni : 
  1. Ada keadaan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang,
  2. Terjadi kekosongan hukum karena undang-undang yang dibutuhkan untuk itu belum ada,
  3. Kekosongan hukum tidak teratasi jika harus menempuh prosedur legislasi biasa yang perlu waktu lama sedangkan keadaan mendesak perlu cepat mendapatkan kepastian untuk diselesaikan.
  • Ketiga, pengertian kegentingan memaksa dalam Pasal 22 ayat (1) tak bisa dimaknai hanya dengan mengkaitkannya dengan adanya keadaan bahaya sebagaimana dimaksud Pasal 12 UUD 1945. Keadaan bahaya memang dapat menyebabkan proses legislasi normal tidak dapat dilaksanakan, tetapi itu bukan satu-satunya penyebab timbulnya kegentingan memaksa.

2. Dapat Diuji 

Berdasarkan dan berkutat pada sistem konstitusi di atas, Pasal 22 UUD 1945 yang berbunyi “Dalam keadaan kegentingan memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang" harus dimaknai sebagai berikut.
  • Pertama, Peraturan pemerintah pada Pasal itu adalah sebagai pengganti undang-undang. Artinya, materi yang diatur dalam peraturan pemerintah itu seharusnya diatur dalam wadah undang-undang. Tetapi karena kegentingan memaksa, UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkannya, bukan kepada DPR. Kenapa bukan DPR? Karena apabila diserahkan ke DPR, proses dan mekanisme pengambilan keputusannya akan memakan waktu lama mengingat diperlukannya rapat-rapat DPR dengan berbagai tingkatan. Sehingga, kebutuhan hukum secara cepat jelas tak dimungkinkan.
  • Kedua, frase ”Presiden berhak” pada Pasal 22 ayat (1) mengesankan adanya subyektifitas dan tergantung sepenuhnya pada Presiden dalam hal pembuatan Perpu. Memang, pembuatan Perpu di tangan Presiden yang bergantung pada penilaian subyektifnya. Namun, itu tidak berarti penilaian subyektif itu bersifat absolut dan tanpa dilandasi hal mendasar. Penilaian subyektif Presiden itu harus didasarkan pada keadaan obyektif berupa terpenuhinya tiga parameter adanya kegentingan memaksa.
Sebagai instrumen mengatasi kebutuhan hukum dalam kegentingan memaksa, maka tentu saja Perpu melahirkan norma hukum. Sebagai norma hukum baru, Perpu akan menimbulkan :
  1. Status hukum baru,
  2. Hubungan hukum baru,
  3. Akibat hukum baru. Norma hukum lahir sejak Perpu disahkan.
Hanya saja, nasibnya norma hukum itu sangat bergantung pada DPR, apakah menerima atau menolak norma hukum Perpu. Meski demikian, sebelum DPR berpendapat untuk menyetujui atau menolak Perpu, norma hukum itu adalah sah dan berlaku mengikat.

Oleh karena keberadaannya yang melahirkan norma hukum dengan kekuatan setara undang-undang itulah maka sudah seharusnya Perpu dapat dimohonkan untuk diuji materi di MK. Singkat cerita, MK mestinya berwenang menguji Perpu terhadap UUD 1945 sebelum adanya persetujuan atau penolakan oleh DPR. Untuk Perpu pasca persetujuan DPR tentu saja MK berwenang karena Perpu telah menjadi UU.

Terhadap nasib kedua Perpu, memang belum terbaca indikasinya. Yang pasti, putusan atas perkara itu adalah preseden. Tak perlu sampai jauh pada isi putusan MK apakah Perpu bertentangan atau tidak dengan UUD 1945, sebab ketegasan yang dinyatakan dalam putusan bahwa MK berwenang menguji Perpu sudah merupakan ‘pahala’ besar bagi rakyat negeri ini.

3. Hak Subyektif “Terbatas” Presiden

“Keberanian” Presiden SBY mengeluarkan Perpu tidak lepas dari perdebatan tentang subyektifitas presiden dalam menafsirkan “hal kegentingan memaksa” yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Penafsiran subyektif Presiden dalam pasal 22 harus dibedakan dengan penafsiran obyektif yang diatur dalam Pasal 12 UUD 1945. Dalam kondisi bahaya atau tidak normal, UUD Negara RI Tahun 1945 memberikan kewenangan kepada presiden untuk melakukan tindakan khusus. Tindakan khusus yang diberikan oleh UUD 1945 diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 22. Pasal 12 menyebutkan Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. UUD 1945 dengan tergas mengamanatkan adanya undang-undang yang mengatur keadaan bahaya yang saat ini diatur lebih lanjut dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Terhadap keadaan bahaya yang diatur dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 ini, Presiden hanya dapat menafsirkan secara obyektif. Dalam hukum tata negara tidak tertulis dikenal dengan doktrinnoodstaatsrecht.

Menurut Harun Al Rasyid (dalam Kleden & Waluyo, Ed., 1981: 76-77 dan 105), dalamnoodstaatsrecht, undang-undang keadaan bahaya selalu ada, pelaksanaan berlakunya keadaan bahaya dituangkan dalam keputusan presiden. Noodstaatsrecht harus dibedakan dari staatsnoodrecht. Menurut doktrin staatnoodrecht, jika negara dalam keadaan darurat kepala negara boleh bertindak apapun bahkan melanggar undang-undang dasar sekalipun demi untuk menyelamatkan negara. Staatnoodrecht merupakan hak darurat negara, bukan hukum. Di Indonesia, Dekrit Presiden 5 Juli 1949 yang menetapkan berlakunya kembali UUD 1945, menurut Prof. Wiryono didasarkan pada doktrin staatnoodrecht. Mahfud MD pembenaran dekrit tidak hanya didasarkan pada staatnoodrecht tetapi juga berdasarkan pada prinsip salus populis supreme lex (keselamatan rakyat adalah dasar hukum tertinggi). Akan tetapi, menurutM. Hatta, Prawoto Mangkusasmito (dalam Mahfud MD: 2001: 136) serta Yusril Ihza Mahendra (2001) yang menyetujui pendapat Prof. Logeman, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah sebuah revolusi hukum di bidang ketatanegaraan.

Menelisik ke belakang, ketentuan Pasal 22 (dan Pasal 12) merupakan teks asli UUD 1945 yang tidak diamandemen. Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 menerangkan bahwa, Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan undang-undang harus disahkan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Indrianto Seno Adji (2002) mengatakan, dalam Hukum Tata Negara dikenal asas hukum darurat untuk kondisi darurat atau abnormale recht voor abnormale tijden. Asas ini kemudian menjadi hak prerogatif presiden seperti dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Jimly Ashiddiqie (2006: 80-85), Perpu sebagai emergency legislation yang didasarkan pada alasan inner nootstand (keadaan darurat yang bersifat internal) dalam keadaan :
  1. mendesak dari segi substansi, dan
  2. genting dari segi waktunya.
Sementara itu, Bagir Manan dalam buku Teori dan Politik Konstitusi (2004) mengatakan, hal ihwal kegentingan yang memaksa" merupakan syarat konstitutif yang menjadi dasar kewenangan presiden dalam menetapkan perppu. Apabila tidak dapat menunjukkan syarat nyata keadaan itu, presiden tidak berwenang menetapkan perppu. Perppu yang ditetapkan tanpa adanya hal ihwal kegentingan maka batal demi hukum (null and void), karena melanggar asas legalitas yaitu dibuat tanpa wewenang. Hal ihwal kegentingan yang memaksa juga harus menunjukkan beberapa syarat adanya krisis, yang menimbulkan bahaya atau hambatan secara nyata terhadap kelancaran menjalankan fungsi pemerintahan. Oleh karena itu, muatan perppu hanya terbatas pada pelaksanaan (administratiefrechtelijk).

Tentang muatan dan cakupan Perpu sendiri, Jimly Ashiddiqie membenarkan pendapat Bagir Manan, bahwa sifat inner notstand sebagai alasan pokok hanya dapat dijadikan alasan ditetapkannya Perpu sepanjang berkaitan dengan kepentingan internal pemerintahan yang memerlukan dukungan payung hukum setingkat undang-undang. Beranjak dari hal-hal tersebut di atas, jelas bahwa Presiden mempunyai keterbatasan dalam menggunakan hak subyektifnya dalam mengeluarkan perpu. Presiden hanya bisa menggunakan haknya sepanjang berkaitan dengan kepentingan internal pemerintahan. perlu ditegaskan bahwa ketentuan UUD 1945 tentang hak presiden menafsirankan keadaan darurat dan kegetingan memaksa bukan merupakan hak tanpa batas. Hak mengeluarkan perpu (atau bahkan Dekrit) tanpa batas akan menjadikan bangsa Indonesia berjalan mundur.

Mahkamah Konstitusi berhak dan berwenang untuk melakukan pengujian Perputerhadap Undang-Undang Dasar 1945. Kesimpulan tersebut dilatar belakangi oleh sudut perspektif dalam menginterprestasikan hukum secara subyektif.Sebagai negara hukum, sedianya tidak hanya bersandarkan pada konsep hukumtertulis sebagaimana diketahui Mahkamah Konstitusi tidak berhak menguji Perpudengan alasan tidak ditemukan pengaturan dalam UUD 1945, namun jugamemperhatikan sumber hukum lainnya seperti asas-asas hukum, prinsip Hak Asasi Manusia dan kepentingan sebagian besar masyarakat. Dengan memperhatikan pluralisme sumber hukum tersebut, suatu produk konstitusi dapat senantiasa bertahan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat.Diperlukannya pengujian adalalah untuk :
  1. Menghindari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power);
  2. Menghindari kekakuan hukum; dan
  3. Menghindari kerugian yang dapat berdampak luas pada masyarakat.


Dasar Hukum :

  1. Undang-Undang Dasar 1945.
  2. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
  3. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan
  4. Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
  5. Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009

Referensi :

  1. Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan-Jenis,Fungsi dan Materi Muatan, Kanisius, 2011,hlm. 45-48, 65-66 dan 76-78.
  2. http://artonang.blogspot.co.id/2014/11/pengertian-undang-undang_17.html
  3. Abdul Hamid Saleh Atamimi, “UUD 1945-TAP MPR- Undang-Undang”, dalam Padmo Wahjono, “Masalah Ketatanegaraan (himpunan tulisan)”,Ghalia Indonesia,1984,hlm.131.
  4. Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM), Konstitusi Press, 2006, hlm. 32.
  5. http://artonang.blogspot.co.id/2015/01/peraturan-pemerintah-pengganti-undang.html
  6. http://artonang.blogspot.co.id/2014/11/pengertian-undang-undang.htmll
  7. http://artonang.blogspot.co.id/2015/01/fungsi-peraturan-perundang-undangan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar