Senin, 02 Mei 2016

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Tanah Tanpa Melalui Lembaga Peradilan

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Tanah Tanpa Melalui Lembaga Peradilan ~ Sengketa pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-politis. Penekanan yang tidak berdampak luas inilah yang membedakan definisi sengketa pertanahan dengan definisi konflik pertanahan. Sengketa tanah dapat berupa sengketa administratif, sengketa perdata, sengketa pidana terkait dengan pemilikan, transaksi, pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan dan sengketa hak ulayat.

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Tanah Tanpa Melalui Lembaga Peradilan
Penyelesaian Tanah Sengketa
Kasus pertanahan meliputi beberapa macam antara lain :
  1. Mengenai masalah status tanah;
  2. Masalah kepemilikan; dan
  3. Masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.
Banyak masalah sengketa tanah yang terkadang selalu memberikan kerugian kepada orang yangseharusnya tidak bersalah misalnya warga (rakyat biasa) yang bersengketa dengan suatu instansi yang mempunyai wewenang dan kekuasaan, karena carut-marutnya hukum pertanahan Indonesian sebenarnya sudah menjadi hal yang biasa.Dari mulai pungli (pungutan liar), korupsi sampaikearah mafia pertanahan yaitu juga melibatkan lembaga peradilan kita.

Sifat permasalahan dari suatu sengketa ada beberapa macam :
  1. Masalah yang menyangkut prioritas untuk dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak atas tanah yang belum ada haknya;
  2. Bantahan terhadap sesuatu alas hak/bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak;
  3. Kekeliruan/kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang/tidak benar;
  4. Sengketa/masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis (bersifat strategis).
Jadi dilihat dari substansinya, maka sengketa pertanahan meliputi pokok persoalan yang berkaitan dengan :
  1. Peruntukan dan/atau penggunaan serta penguasaan hak atas tanah;
  2. Keabsahan suatu hak atas tanah;
  3. Prosedur pemberian hak atas tanah;
  4. Pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihan dan penerbitan tanda bukti haknya.
Apabila Sengketa tanah belum sampai ke lembaga peradilan, maka kasus Sengketa tanah adalah sengketa tanah yang dapat diselesaikan dengan cara mengadu kepada Kepala Kantor Pertanahan secara tertulis, melalui loket pengaduan, kotak surat atau website Kementerian.

Berdasarkan pengaduan tersebut, pejabat yang bertanggungjawab dalam menangani Sengketa, Konflik dan Perkara pada Kantor Pertanahan melakukan kegiatan pengumpulan data, kemudian melakukan analisa untuk mengetahui apakah pengaduan tersebut merupakan kewenangan Kementerian atau bukan.

Jika memang masalah yang Anda dan tetangga Anda hadapi termasuk dalam kewenangan Kementerian, maka akan dilakukan proses berikutnya yaitu penyelesaian sengketa. Hasil dari proses penyelesaian sengketa tersebut adalah keputusan Kepala Kantor Wilayah BPN atau Menteri.

Apabila data yang disampaikan secara langsung ke Badan Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka Badan Pertanahan Nasional akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran ke Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota setempat letak tanah yang disengketakan. Bilamana kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur, kewenangan dan penerapan hukumnya. Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila dari keyakinannya memang harus distatus quokan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 tahun 1984.

Terkait sengketa tanah, ada peraturan terbaru terkait kasus pertanahan yaitu Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan (ATR/BPN) Nasional Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan.

Dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan (ATR/BPN) Nasional Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan (Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2016), yang disebut dengan kasus pertanahan adalah "Sengketa, Konflik, atau Perkara Pertanahan untuk mendapatkan penanganan penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan pertanahan".

Kasus Sengketa tanah dibagi menjadi 3 (tiga) sebagai berikut :
  1. Pasal 1 angka 2 Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2016, Sengketa Tanah yang selanjutnya disebut Sengketa adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas.
  2. Pasal 1 angka 3 Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2016, Konflik Tanah yang selanjutnya disebut Konflik adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas.
  3. Pasal 1 angka 4 Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2016, Perkara Tanah yang selanjutnya disebut Perkara adalah perselisihan pertanahan yang penanganan dan penyelesaiannya melalui lembaga peradilan. Baca (Prosedur Pengurusan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Menjadi Sertifikat Hak Milik Atas Tanah (SHM) untuk Rumah Tinggal)
Jika kasus Anda belum sampai ke lembaga peradilan, maka kasus Anda adalah sengketa tanah. Penyelesaian sengketa tanah dilakukan berdasarkan  (Pasal 4 Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2016) :
  1. Inisiatif dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (“Kementerian”); atau
  2. Pengaduan masyarakat.
Untuk itu, Anda bisa melakukan pengaduan jika terjadi sengketa tanah yaitu :
  1. Pada Pasal 6 ayat (2) Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2016, Pengaduan disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan secara tertulis, melalui loket pengaduan, kotak surat atau website Kementerian,
  2. Pasal 6 ayat (4) Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2016, Pengaduan paling sedikit memuat identitas pengadu dan uraian singkat kasus,
  3. Pasal 7 ayat (3)  Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2016, Pengaduan yang telah memenuhi syarat yang diterima langsung melalui loket Pengaduan, kepada pihak pengadu diberikan Surat Tanda Penerimaan Pengaduan, 
  4. Pasal 8 ayat (1) Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2016, Pengaduan tersebut diadministrasikan ke dalam Register Penerimaan Pengaduan, 
  5. Pasal 9 ayat (1) Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2016, Setiap perkembangan dari sengketa tanah dicatat dalam Register Penyelesaian Sengketa, Konflik, dan Perkara dengan melampirkan bukti perkembangan; dan 
  6. Pasal 9 ayat (2) Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2016, Perkembangan penyelesaian Sengketeta dilaporkan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN setiap 4 (empat) bulan sekali dan ditembuskan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (“Menteri”).
Berdasarkan pengaduan tersebut, pejabat yang bertanggungjawab dalam menangani Sengketa, Konflik dan Perkara pada Kantor Pertanahan (“Pejabat”) melakukan kegiatan pengumpulan data (Pasal 10 ayat (1)) dan Data yang dikumpulkan dapat berupa (Pasal 10 ayat (2)) :
  1. Data fisik dan data yuridis;
  2. Putusan peradilan, berita acara pemeriksaan dari Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI, Komisi Pemberantasan Korupsi atau dokumen lainnya yang dikeluarkan oleh lembaga/instansi penegak hukum;
  3. Data yang dikeluarkan atau diterbitkan oleh pejabat yang berwenang;
  4. Data lainnya yang terkait dan dapat mempengaruhi serta memperjelas duduk persoalan Sengketa dan Konflik; dan/atau
  5. Keterangan saksi.
Setelah pelaksanaan kegiatan pengumpulan data, Pejabat melakukan analisis (Pasal 11 ayat (1)). Analisis tersebut dilakukan untuk mengetahui pengaduan tersebut merupakan kewenangan Kementerian atau bukan kewenangan Kementerian (Pasal 11 ayat (2)).

Sengketa atau Konflik yang menjadi kewenangan Kementerian meliputi :
  1. Kesalahan prosedur dalam proses pengukuran, pemetaan dan/atau perhitungan luas;
  2. Kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran penegasan dan/atau pengakuan hak atas tanah bekas milik adat;
  3. Kesalahan prosedur dalam proses penetapan dan/atau pendaftaran hak tanah;
  4. Kesalahan prosedur dalam proses penetapan tanah terlantar;
  5. Tumpang tindih hak atau sertifikat hak atas tanah yang salah satu alas haknya jelas terdapat kesalahan;
  6. Kesalahan prosedur dalam proses pemeliharaan data pendaftaran tanah;
  7. Kesalahan prosedur dalam proses penerbitan sertifikat pengganti;
  8. Kesalahan dalam memberikan informasi data pertanahan;
  9. Kesalahan prosedur dalam proses pemberian izin;
  10. Penyalahgunaan pemanfaatan ruang; atau
  11. Kesalahan lain dalam penerapan peraturan perundang-undangan.
Pada Pasal 17 ayat (1)Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2016, Jika memang masalah yang Anda dan tetangga Anda hadapi termasuk dalam kewenangan Kementerian, maka akan dilakukan proses berikutnya yaitu penyelesaian sengketa. Dalam menangani sengketa ini, akan dilakukan pengkajian terhadap kronologi Sengketa atau Konflik; dan data yuridis, data fisik, dan data pendukung lainnya.

Dalam melaksanakan pengkajian, dilakukan pemeriksaan lapangan (Pasal 18 ayat (1) Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2016), yang meliputi (Pasal 19) :
  1. Penelitian atas kesesuaian data dengan kondisi lapangan;
  2. Pencarian keterangan dari saksi-saksi dan/atau pihak-pihak yang terkait;
  3. Penelitian batas bidang tanah, gambar ukur, peta bidang tanah, gambar situasi/surat ukur, peta rencana tata ruang; dan/atau
  4. Kegiatan lainnya yang diperlukan.
Pada Pasal 24 ayat (1) Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2016, Dalam menyelesaikan sengketa, Kepala Kantor Wilayah BPN atau Menteri akan menerbitkan:
  1. Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah, yaitu pembatalan terhadap hak atas tanah, tanda bukti hak dan daftar umum lainnya yang berkaitan dengan hak tersebut (Pasal 24 ayat (2));
  2. Keputusan Pembatalan Sertifikat, yaitu pembatalan terhadap tanda bukti hak dan daftar umum lainnya yang berkaitan dengan hak tersebut, dan bukan pembatalan terhadap hak atas tanahnya (Pasal 24 ayat (3)):
  3. Keputusan Perubahan Data pada Sertifikat, Surat Ukur, Buku Tanah dan/atau Daftar Umum lainnya; atau
  4. Surat Pemberitahuan bahwa tidak terdapat kesalahan administrasi.
Dalam Pasal 24 ayat (7) Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2016, Dalam hal di atas satu bidang tanah terdapat tumpang tindih sertifikat hak atas tanah, Menteri atau Kepala Kantor Wilayah BPN sesuai kewenangannya menerbitkan Keputusan pembatalan sertifikat yang tumpang tindih, sehingga di atas bidang tanah tersebut hanya ada 1 (satu) sertifikat hak atas tanah yang sah.

Perlu diingat bahwa penerbitan keputusan pembatalan hak atas tanah maupun sertifikat tidak berarti menghilangkan/menimbulkan hak atas tanah atau hak keperdataan lainnya kepada para pihak (Pasal 26 ayat (3)).

Keputusan penyelesaian Sengketa atau Konflik dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pertanahan (Pasal 27 Permen).

Dalam Pasal 28 ayat (1) Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2016, Dalam hal Keputusan berupa Pembatalan Hak Atas Tanah, Pembatalan Sertifikat atau Perubahan Data, Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan pejabat yang berwenang untuk memberitahukan kepada para pihak agar menyerahkan sertifikat hak atas tanah dan/atau pihak lain yang terkait dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja.

Setelah pemberitahuan atau pengumuman, Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan pejabat yang berwenang menindaklanjuti keputusan sebagai berikut (Pasal 29) :
  1. Dalam hal Keputusan berupa pembatalan hak atas tanah: pejabat yang berwenang melakukan pencatatan mengenai hapusnya keputusan pemberian hak, sertifikat, surat ukur, buku tanah dan Daftar Umum lainnya, pada Sertifikat hak atas tanah, Buku Tanah dan Daftar Umum lainnya.
  2. Dalam hal Keputusan berupa pembatalan sertifikat: pejabat yang berwenang melakukan pencatatan mengenai hapusnya hak pada Sertifikat, Buku Tanah dan Daftar Umum lainnya.
  3. Dalam hal Keputusan berupa perubahan data: pejabat yang berwenang melakukan perbaikan pada Sertifikat, Surat Ukur, Buku Tanah atau Daftar Umum lainnya. Setelah dilakukan perbaikan, sertifikat diberikan kembali kepada pemegang hak atau diterbitkan sertifikat pengganti.
Keputusan Kepala Kantor Wilayah BPN atau Menteri wajib dilaksanakan kecuali terdapat alasan yang sah untuk menunda pelaksanaannya (Pasal 33 ayat (1)). Alasan yang sah tersebut antara lain (Pasal 33 ayat (2)):
  1. Sertifikat yang akan dibatalkan sedang dalam status diblokir atau disita oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan/atau lembaga penegak hukum lainnya; atau
  2. Tanah yang menjadi obyek pembatalan menjadi obyek hak tanggungan; atau
  3. Tanah telah dialihkan kepada pihak lain.
Dalam Pasal 33 ayat (3) Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2016, Penundaan pelaksanaan wajib dilaporkan oleh Kepala Kantor Pertanahan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN atau Menteri dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya Keputusan tersebut.

Jika tanah yang menjadi obyek pembatalan sedang dalam status diblokir atau disita oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan/atau lembaga penegak hukum lainnya, maka pelaksanaan pembatalan ditunda (Pasal 34 ayat (1)). Penundaan dilakukan dengan ketentuan:
  1. Apabila status blokir dan tidak ditindaklanjuti dengan penetapan sita dari pengadilan, maka penundaan dilakukan sampai dengan jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak dilakukan pencatatan blokir atau sampai adanya pencabutan blokir dari pihak kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan/atau lembaga penegak hukum lainnya sebelum tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari; atau
  2. Apabila status blokir dan ada penetapan sita dari pengadilan, penundaan dilakukan sampai adanya keputusan pencabutan sita dari pihak kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan/atau lembaga penegak hukum lainnya.
Dalam Pasal 35 ayat (1) Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2016, Jika tanah merupakan obyek hak tanggungan atau tanah telah dialihkan kepada pihak lain, maka dilakukan pemberitahuan kepada pemegang hak tanggungan atau pihak lain tersebut. Pihak lain merupakan (Pasal 35 ayat (2)) :
  1. Pihak lain yang tidak mengetahui bahwa tanah dalam keadaan sengketa atau konflik;
  2. Tanah tersebut ditawarkan secara terbuka; dan
  3. Pihak lain yang memperoleh hak secara terang dan tunai.
Pemberitahuan dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan kepada pemegang hak tanggungan atau pihak lain mengenai rencana pelaksanaan keputusan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari (Pasal 35 ayat (3)).

Setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari berakhir, Kepala Kantor Pertanahan melanjutkan proses penyelesaian Sengketa dan Konflik, kecuali terdapat sita oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan/atau lembaga penegak hukum lainnya (Pasal 35 ayat (4)). Proses penyelesaian Sengketa dan Konflik tersebut dilakukan setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (Pasal 35 ayat (5)).

Pada Pasal 37 ayat (1) Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2016, Jika ternyata sengketa tanah yang terjadi antara Anda dan tetangga Anda tidak termasuk sengketa yang merupakan kewenangan Kementerian, penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui mediasi. Dalam hal mediasi menemukan kesepakatan, dibuat Perjanjian Perdamaian yang didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat sehingga mempunyai kekuatan hukum mengikat (Pasal 41).

Dasar Hukum:

  1. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan (ATR/BPN) Nasional Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan.
  2. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 tahun 1984.
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
  4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA),

 Referensi :

  1. Budi Harsono;Undang-Undang Pokok Agraria, Sejarah Penyusunan Isi dan Pelaksanaannya, Jambatan Jakarta,1961.
  2. Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan,Rajawali Pers, Jakarta, 2008
  3. Ali Sofwan Husein, Konflik Pertanahan Dimensi Keadilan dan Kepentingan Ekonomi, Pustaka Sinar Harapan Jakarta, 1997.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar