Selasa, 03 Mei 2016

Penyelesaian Konflik Dan Penanganan Kasus Pertanahan Dengan Adanya Prinsip Win-Win Solution Oleh BPN RI

Penyelesaian Konflik Dan Penanganan Kasus Pertanahan Dengan Adanya Prinsip Win-Win Solution Oleh BPN RI ~ Persoalan tanah dewasa ini, menarik untuk di bicarakan mengingat bahwa tanah bagi masyarakat bukan hanya berfungsi sebagai tempat tinggal , sumber produksi atau pendapatan, akan tetapi juga mempunya fungsi sosial. Begitu pentingnya tanah bagi manusia di berbagai aspek dari manusia kalangan atas maupun manusia kalangan menengah kebawah. Persoalan tanah itu sendiri saat sekarang sudah banyak muncul di permukaan, ada yang diselesaikan berdasarkan hukum perdata dan juga hanya diselesaikan secara kekeluargaan. 

Penyelesaian Konflik Dan Penanganan Kasus Pertanahan Dengan Adanya Prinsip Win-Win Solution Oleh BPN RI
Penyelesaian Konflik Atau Kasus Pertanahan
Sengketa tanah merupakan perebutan hak atas kepemilikan tanah yang jelas maupun karena kepemilikan tanah yang tidak jelas, dan sengketa tanah terjadi karena ada sebuah kepentingan dan hak.

Sengketa tanah banyak terjadi karena adanya sebuah benturan kepentingan antara siapa dengan siapa. Sadar akan pentingnya tanah untuk tempat tinggal atau kepentingan lainnya menyebabkan tanah yang tidak jelas kepemilikannya diperebutkan bahkan ada yang sudah jelas kepemilikannyapun masih ada yang diperubutkan, hal ini terjadi karena masyarakat sadar akan kepentingan dan haknya,selain itu harga tanah yang semakin meningkat.Menurut Rusmadi Murad timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan.

Pemerintah tidak seharusnya mengambil hak hak atas tanah masyarakat dengan alasan bahwa tanah tersebut akan di gunakan untuk kepentingan umum. apabila kenyataannya tanah itu benar adanya digunakan untuk kepentingan umum, akan tetapi pemerintah harus berlaku adil dengan memberikan ganti kerugian yang sesuai dengan nilai jual pasar yang tidak akan menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

A. Sekilas Konflik Kasus Pertanahan

Salah satu kegiatan dalam program strategis BPN RI lainnya adalah percepatan penyelesaian kasus pertanahan. Berdasarkan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, kasus pertanahan adalah sengketa, konflik dan perkara pertanahan yang disampaikan kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk mendapatkan penanganan, penyelesaian sesuai peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan pertanahan nasional.

1. Sengketa Pertanahan

Sengketa pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-politis. Penekanan yang tidak berdampak luas inilah yang membedakan definisi sengketa pertanahan dengan definisi konflik pertanahan. Sengketa tanah dapat berupa sengketa administratif, sengketa perdata, sengketa pidana terkait dengan pemilikan, transaksi, pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan dan sengketa hak ulayat.

2. Konflik Pertanahan

Konflik pertanahan merupakan perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas secara sosio-politis.

3. Perkara Pertanahan

Perkara pertanahan adalah perselisihan pertanahan yang penyelesaiannya dilaksanakan oleh lembaga peradilan atau putusan lembaga peradilan yang masih dimintakan penanganan perselisihannya di BPN RI.

B. Penyebab Kasus Atau Konflik Pertanahan

Penyebab umum timbulnya konflik pertanahan dapat dikelompokkan dalam dua faktor, yaitu faktor hukum dan faktor non hukum.

1. Faktor Hukum

Beberapa faktor hukum yang menjadi akar dari konflik pertanahan belakangan ini antara lain :

a) Tumpang tindih peraturan

UUPA sebagai induk dari peraturan di bidang sumber daya agraria lainnya, dalam perjalanannya dibuat beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sumber daya agraria tetapi tidak menempatkan UUPA sebagai undang-undang induknya, bahkan justru menempatkan UUPA sejajar dengan undang-undang agraria. UUPA yang mulanya merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan di Indonesia menjadi tidak berfungsi dan secara substansial bertentangan dengan diterbitkannya berbagai peraturan perundangan sektoral seperti UU Kehutanan, UU Pokok Pertambangan, UU Transigrasi dan lain-lain.

b) Tumpang tindih peradilan

Pada saat ini terdapat tiga lembaga peradilan yang dapat menangani suati konflik pertanahan yaitu peradilan perdata, peradilan pidana dan peradilan tata usaha negara (TUN). Dalam bentuk konflik tertentu, salah satu pihak yang menang secara perdata belum tentu menang secara pidana (dalam hal konflik disertai tindak pidana).

2. Faktor Non Hukum

a) Tumpang tindih penggunaan tanah

Sejalan dengan waktu, pertumbuhan penduduk yang cepat mengakibatkan jumlah penduduk bertambah, sedangkan produksi pangan tetap atau mungkin berkurang karena banyak tanah pertanian yang beralih fungsi. Tidak dapat dihindarkan bahwa dalam sebidang tanah yang sama dapat timbul kepentingan yang berbeda.

b) Nilai ekonomis tanah tinggi

Nilai ekonomis harga tanah semakin tinggi dengan adanya pertumbuhan ekonomi. Sehingga didalam hal ini masyarakat akan semakin sulit untuk menemukan atau dapat menjangkau harga tanah.

c) Kesadaran masyarakat meningkat

Adanya perkembangan global serta peningkatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berpengaruh pada peningkatan kesadaran masyarakat. Pola pikir masyarakat terhadap masyarakatpun ikut berubah. Terkait tanah sebagai aset pembangunan, maka muncul perubahan pola pikir masyarakat terhadap penguasaan tanah, yaitu tidak lagi menempatkan tanah sebagai sumber produksi akan tetapi menjadikan tanah sebagai sarana untuk investasi atau komoditas ekonomi.

d) Tanah tetap, penduduk bertambah

Pertumbuhan penduduk yang sangat cepat baik melalui kelahiran maupun migrasi serta urbanisasi, serta jumlah lahan yang tetap, menjadikan tanah sebagai komoditas ekonomi yang nilainya sangat tinggi, sehingga setiap jengkal tanah dipertahankan sekuatnya.

e) Kemiskinan

Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Terbatasnya akses terhadap tanah merupakan salah satu faktor penyebab kemiskinan dalam kaitan terbatasnya aset dan sumber daya produktif yang dapat diakses masyarakat miskin.

C. Tipologi Kasus Atau Konflik Pertanahan

Tipologi kasus pertanahan merupakan jenis sengketa, konflik dan atau perkara pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional. Tipologi kasus atau konflik pertanahan yang ditangani Badan Pertanahan Nasional RI dapat dikelompokkan menjadi 8 (delapan), terdiri dari masalah yang berkaitan dengan :
  1. Penguasaan dan Pemilikan Tanah tanah tanpa hak, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang tidak atau belum dilekati hak (tanah Negara), maupun yang telah dilekati hak oleh pihak tertentu.
  2. Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai proses penetapan hak dan pendaftaran tanah yang merugikan pihak lain sehingga menimbuikan anggapan tidak sahnya penetapan atau perijinan di bidang pertanahan;
  3. Sengketa batas atau letak bidang Tanah, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang telah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia maupun yang masih dalam proses penetapan batas.
  4. Sengketa waris, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang berasal dari warisan.
  5. Pengadaan Tanah, yaitu perbedaan pendapat, kepentingan, persepsi atau nilai mengenai status hak tanah yang perolehannya berasal proses pengadaan tanah, atau mengenai keabsahan proses, pelaksanaan pelepasan atau pengadaan tanah dan ganti rugi;
  6. Tanah obyek Landreform, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai prosedur penegasan, status penguasaan dan pemilikan, proses penetapan ganti rugi, penentuan subyek obyek dan pembagian tanah obyek Landreform;
  7. Jual berkali-kali, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang diperoleh dari jual beli kepada lebih dari 1 orang.
  8. Sertipikat ganda, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu yang memiliki sertipikat hak atas tanah lebih dari 1.
  9. Sertipikat pengganti, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidangtanah tertentu yang telah diterbitkan sertipikat hak atas tanah pengganti.
  10. Akta Jual Beli Palsu, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu karena adanya Akta Jual Beli palsu.
  11. Kekeliruan penunjukan batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang teiah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia berdasarkan penunjukan batas yang salah.
  12. Tuntutan Ganti Rugi Tanah Partikelir, yaitu perbedaan persepsi, pendapat, kepentingan atau nilai mengenai Keputusan tentang kesediaan pemerintah untuk memberikan ganti kerugian atas tanah partikelir yang dilikwidasi;
  13. Tanah Ulayat, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status ulayat dan masyarakat hukum adat di atas areal tertentu baik yang telah diterbitkan hak atas tanah maupun yang belum, akan tetapi dikuasai oleh pihak lain;
  14. Tumpang tindih, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak tertentu karena terdapatnya tumpang tindih batas kepemilikan tanahnya.
  15. Putusan Pengadilan, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai putusan badan peradilan yang berkaitan dengan subyek atau obyek hak atas tanah atau mengenai prosedur penerbitan hak atas tanah tertentu.

D. Penyelesaian Konflik Atau Kasus Pertanahan

Berbagai penyelesaian konflik pertanahan cukup banyak ditawarkan baik yang bersifat litigasi maupun non litigasi, tetapi dalam banyak hal hasilnya terasa kurang memuaskan. Bahkan penyelesaian melalui pengadilanpun terkadang dirasakan oleh masyarakat tidak memuaskan. Tidak sedikit mereka yang telah menduduki tanah selama bertahun-tahun ditolak gugatannya untuk mempertahankan hak atau mendapatkan hak karena adanya pihak lain yang menguasai tanah yang bersangkutan. Atau sebaliknya gugatan seseorang terhadap penguasaan tanah tertentu dikabulkan pengadilan walaupun bagi pihak yang menguasai tanah tidak cukup kuat atau gugatan kurang beralasan.

Di Indonesia, konflik pertanahan yang ada diselesaikan melalui Pengadilan Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Namun dari sekian banyaknya kasus yang masuk ke badan peradilan tersebut, banyak yang diselesaikan dengan hasil yang kurang memuaskan, sehingga berkembanglah pandangan di masyarakat bahwa badan peradilan tidak optimal dalam menyelesaikan sengketa pertanahan. Akibatnya, rasa keadilan dan kepastian hukum yang diharapkan masyarakat tersebut tidak terpenuhi, bahkan yang ada hanyalah persoalan baru yang dampaknya justru memperburuk kondisi yang ada.

Pola-pola penyelesaian konflik pertanahan di luar pengadilan yang dilakukan adalah : negosiasi, musyawarah mufakat dan mediasi. Negosiasi dilakukan dengan jalan dimana para pihak yang berkonflik duduk bersama untuk mencari jalan terbaik dalam penyelesaian konflik dengan prinsip bahwa penyelesaian itu tidak ada pihak yang dirugikan (win-win solution), kedua pihak tidak ada yang merasa dirugikan. Musyawarah mufakat adalah lengkah lebih lanjut dari negosiasi. Jika dalam negosiasi tidak terdapat kesepakatan yang saling menguntungkan, maka langkah lebih lanjut adalah melakukan musyawarah mufakat dengan melibatkan pihak lain selaku penengah. Hasil musyawarah tersebut selanjutnya dibuatkan surat kesepakatan bersama yang ditanda tangani oleh para pihak dan para saksi.

Mediasi merupakan pengendalian konflik pertanahan yang dilakukan dengan cara membuat konsensus diantara dua pihak yang berkonflik untuk mencari pihak ketiga yang berkedudukan netral sebagai mediator dalam penyelesaian konflik. Penyelesaian secara mediasi baik yang bersifat tradisional ataupun melalui berbagai Lembaga Alternative Dispute Resolution (ADR) mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan berperkara di muka pengadilan yang tidak menarik dilihat dari segi waktu, biaya dan pikiran/tenaga. Disamping itu kurangnya kepercayaan atas kemandirian lembaga peradilan dan kendala administrasi yang meliputinya membuat pengadilan merupakan pilihan terakhir untuk penyelesaian sengketa.

Mediasi memberikan kepada para pihak perasaan kesamaan kedudukan dan upaya penentuan hasil akhir perundingan yang dicapai menurut kesepakatan bersama tanpa tekanan atau paksaan. Dengan demikian solusi yang dihasilkan mengarah kepada win-win solution. Upaya untuk win-win solution itu ditentukan oleh beberapa faktor :
  1. Proses pendekatan yang obyektif terhadap sumber sengketa lebih dapat diterima oleh pihak-pihak yang memberikan hasil yang saling menguntungkan, dengan catatan bahwa pendekatan itu harus menitikberatkan pada kepentingan yang menjadi sumber konflik dan bukan pada posisi atau kedudukan para pihak.
  2. Kemampuan yang seimbang dalam proses negosiasi atau musyawarah. Perbedaan kemampuan tawar menawar akan menyebabkan adanya penekanan oleh pihak yang satu terhadap yang lain.
Dengan berjalannya waktu, penyelesaian konflik pertanahan melalui ADR secara implisit dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dalam struktur organisasi BPN dibentuk satu kedeputian, yaitu Kedeputian Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan. BPN telah pula menerbitkan Keputusan Kepala BPN No. 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan yang telah diganti dengan Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. Dalam menjalakan tugasnya menyelesaikan konflik pertanahan, BPN melakukan upaya antara lain melalui mediasi.

Pembentukan kedeputian tersebut menyiratkan dua hal. Pertama, bahwa penyelesaian berbagai konflik pertanahan itu sudah merupakan hal yang sangat mendesak sehingga diupayakan membentuk kedeputian untuk menanganinya. Kedua, terdapat keyakinan bahwa tidak semua konflik pertanahan harus diselesaikan melalui pengadilan. Kedeputian Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik pertanahan. Dalam melaksanakan tugasnya Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan berpedoman pada peraturan prundang-undangan yang berlaku, terutama Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan.

1. Mekanisme Penanganan Dan Penyelesaian Konflik Oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN)

Penanganan dan penyelesaian terhadap konflik pertanahan oleh BPN RI didasarkan pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, yang meliputi mekanisme pelayanan pengaduan dan informasi, pengkajian, penanganan, dan penyelesaian konflik pertanahan, serta bantuan hukum dan perlindungan hukum.

a. Mekanisme Pengaduan

  1. Pelayanan pengaduan sengketa dan konflik pertanahan dilaksanakan dan dikoordinir oleh Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (Deputi V) di BPN RI, di Kantor Wilayah BPN Provinsi dilakukan oleh Kepala Bidang PPSKP dikoordinasi oleh Kakanwil, dan di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dilakukan oleh Kepala Seksi SKP dikoordinasi oleh Kepala Kantor;
  2. Pengaduan sengketa dan konflik pertanahan dapat diajukan secara lisan atau tertulis dan dapat disampaikan secara langsung ke Kantor Pertanahan, Kantor Wilayah BPN, dan Kantor BPN RI, atau melalui www.bpn.go.id. Khusus melalui www.bpn.go.id harus ditindaklanjuti dengan pembuatan permohonan secara tertulis;
  3. Pengaduan paling sedikit memuat identitas pengadu, obyek yang diperselisihkan, posisikasus (legal standing) dan maksud pengaduan, serta dilampiri foto copy identitas pengadu dan data dukung yang terkait dengan pengaduan;
  4. Surat pengaduan yang telah diterima diteruskan ke satuan organisasi yang tugas dan fungsinya menangani sengketa dan konflik pertanahan. Surat pengaduan yang diterima dicatat dalam register dan diditribusikan kepada pelaksana dan/atau tim pengolah untuk mendapatkan penanganan.

b. Pengkajian Konflik Pertanahan

Pengkajian konflik dilakukan dengan melakukan pengkajian akar dan riwayat koflik untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya dan potensi dampak dari terjadinya konflik. Pengkajian konflik pertanahan dilakukan dengan cara meneliti dan menganalisis data konflik yang terjadi. Hasil dari penelitian dan analisa data dipergunakan untuk menentukan dan merumuskan pokok permasalahan atas terjadinya konflik. Terhadap pokok permasalahan konflik dilakukan telaahan hukum berdasarkan data yuridis, data fisik dan/atau data pendukung lainnya, yang hasilnya kemudian dilakukan kajian penerapan hukum yang selanjutnya menghasilkan rekomendasi penanganan konflik.

c. Penanganan Konflik Pertanahan

Penanganan konflik pertanahan dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum atas penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, serta untuk memastikan tidak terdapat tumpang tindih pemanfaatan, tumpang tindih penggunaan, tumpang tindih penguasaan dan tumpang tindih pemilikan tanah, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bukti kepemilikan tanah bersifat tunggal untuk setiap bidang tanah yang diperselisihkan. Penanganan konflik pertanahan dilaksanakan secara komprehensif melalui kajian akar permasalahan, pencegahan dampak konflik, dan penyelesaian konflik. Penanganan sengketa dan konflik pertanahan dilakukan dengan :
  • Penelitian/pengolahan data pengaduan; yang meliputi : penelitian kelengkapan dan keabsahan data, pencocokan data yuridis dan data fisik serta data dukung lainnya, kajian kronologi sengketa dan konflik, dan analisis aspek yuridis, fisik dan administrasi.
  • Penelitian lapangan; meliputi penelitian keabsahan atau kesesuaian data dengan sumbernya, pencarian keterangan dari saksi-saksi terkait, peninjauan fisik tanah obyek yang disengketakan, penelitian batas tanah, gambar situasi, peta bidang, Surat Ukur, dan kegiatan lain yang diperlukan.
  • Penyelenggaraan Gelar Kasus; tujuannya antara lain untuk memetapkan rencana penyelesaian, memilih alternatif penyelesaian dan menetapka upaya hukum. Jenis gelar kasus terdiri dari :
  1. Gelar Internal, adalah gelar yang pesertanya dari Kantor Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan/atau Kantor Pertanahan. Gelar Internal bertujuan : menghimpun masukan pendapat para petugas/ pejabat; mengidentifikasi sengketa dan konflik yang diperselisihkan; dan menyusun rencana penyelesaian;
  2. Gelar Eksternal, adalah gelar yang pesertanya dari Kantor Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan/atau Kantor Pertanahan yang diikuti peserta dari unsur/instansi lainnya. Gelar Eksternal bertujuan : melengkapi keterangan dan pendapat dari internal dan eksternal Kantor BPN RI, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan/atau Kantor Pertanahan agar pembahasan lebih komprehensif; mempertajam analisis kasus pertanahan; dan memilih alternatif penyelesaian;
  3. Gelar Mediasi, adalah gelar yang menghadirkan para pihak yang berselisih untuk memfasilitasi penyelesaian kasus pertanahan melalui musyawarah. Gelar Mediasi bertujuan : menampung informasi/pendapat dari semua pihak yang berselisih, dan pendapat dari unsur lain yang perlu dipertimbangkan; menjelaskan posisi hukum para pihak baik kelemahan/kekuatannya; memfasilitasi penyelesaian kasus pertanahan melalui musyawarah; dan pemilihan penyelesaian kasus pertanahan; dan
  4. Gelar Istimewa, adalah gelar yang dilaksanakan oleh Tim Penyelesaian Kasus Pertanahan yang dibentuk oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia atau Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan. Gelar Istimewa bertujuan : menyelesaikan kasus pertanahan yang sangat kompleks; menyelesaikan perbedaan keputusan mengenai penanganan kasus pertanahan antara pejabat BPN RI atau pejabat instansi lainnya; mengkoreksi keputusan Pejabat BPN RI yang bermasalah; dan menetapkan upaya hukum.
  • Penyusunan Risalah Pengolahan Data (RPD); merupakan dokumen resmi BPN RI yang menjadi bagian tidak terpisahkan dengan dokumen penanganan dan penyelesaian kasus pertanahan, yang merupakan rangkuman hasil penanganan kasus/sengketa dan konflik pertanahan. Risalah Pengolahan Data disusun berdasarkan komitmen terhadap kebenaran, kejujuran dan prosedur, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
  • Penyiapan Berita Acara/Surat/Keputusan.
  • Monitoring dan evaluasi terhadap hasil penanganan sengketa.

d. Penyelesaian Konflik Pertanahan

Dalam rangka membangun kepercayaan publik (trust building), salah satu yang dilakukan oleh BPN adalah melakukan percepatan penanganan dan penyelesaian kasus-kasus pertanahan sebagaimana diamantkan dalam Tap MPR IX/MPR/2001 yang juga merupakan bagian dari 11 Agenda Prioritas BPN RI dengan berlandaskan 4 (4mpat) prinsip kebijakan pertanahan. Peyelesaian konflik pertanahan berdasarkan Pera turan Kepala BPN No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan terdiri dari :
  • Penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan untuk melaksanakan putusan pengadilan; BPN RI wajib melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali terdapat alasan yang sah untuk tidak melaksanakannya, yaitu :
  1. Terhadap obyek putusan terdapat putusan lain yang bertentangan;
  2. Terhadap obyek putusan sedang diletakkan sita jaminan;
  3. Terhadap obyek putusan sedang menjadi obyek gugatan dalam perkara lain;
  4. Alasan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
  • Penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan di luar pengadilan; dapat berupa perbuatan hukum administrasi pertanahan meliputi :
  1. Pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administrasi;
  2. Pencatatan dalam Sertipikat dan/atau Buku Tanah serta Daftar Umum lainnya; dan
  3. Penerbitan surat atau keputusan administrasi pertanahan lainnya karena terdapat cacat hukum administrasi dalam penerbitannya.
Dalam melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa dan konflik pertenahan, BPN RI menetapkan beberapa keriteria terhadap kasus pertanahan yang dinyatakan selesai sebagaimana disebutkan dalam Pasal 72 Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011, yaitu :
  • Kriteria Satu (K-1) berupa penerbitan Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan dan pemberitahuan kepada semua pihak yang bersengketa;
  • Kriteria Dua (K-2) berupa Penerbitan Surat Keputusan tentang pemberian hak atas tanah, pembatalan sertipikat hak atas tanah, pencatatan dalam buku tanah, atau perbuatan hukum lainnya sesuai Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan;
  • Kriteria Tiga (K-3) berupa Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang ditindaklanjuti mediasi oleh BPN sampai pada kesepakatan berdamai atau kesepakatan yang lain yang disetujui oleh para pihak;
  • Kriteria Empat (K-4) berupa Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang intinya menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan akan melalui proses perkara di pengadilan, karena tidak adanya kesepakatan untuk berdamai;
  • Kriteria Lima (K-5) berupa Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan yang telah ditangani bukan termasuk kewenangan BPN dan dipersilakan untuk diselesaikan melalui instansi lain.

e. Bantuan Hukum dan Perlindungan Hukum

Bantuan hukum dilaksanakan untuk kepentingan BPN RI atau aparatur BPN RI yang masih aktif atau sudah purna tugas yang menghadapi masalah hukum. Bantuan hukum meliputi pendampingan hukum dalam proses peradilan pidana, perdata atau tata usaha negara, pengkajian masalah hukum yang berkaitan dengan kepentingan BPN dan pengkajian masalah hukum akibat tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai BPN.

2. Strategi Penanganan Dan Penyelesaian Konflik Pertanahan

Agar penanganan dan penyelesaian konflik pertanahan dapat diwujudkan dan agenda kebijakan BPN RI dapat dilaksanakan untuk mencapai sasaran strategis yang diinginkan, maka dirumuskan strategi sebagai berikut :
  • Memantapkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Kedeputian Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan dengan membangun standar mekanisme dan prosedur operasional pengkajian dan penanganan sengketa pertanahan;
  • Mengintensifkan penyelesaian sengketa, konflik dan perkara pertanahan melalui mediasi dengan mendasarkan pada kajian akar permasalahan;
  • Membangun sistem basis data dan sistem informasi kasus pertanahan yang valid guna mendukung percepatan penanganan dan penyelesaian sengketa, konflik dan perkara pertanahan secara sistematis;
  • Memprakarsai terwujudnya konsep strategis penyelesaian sengketa, konflik dan perkara pertanahan dengan melibatkan pakar, akademisi serta Pengamat Agraria;
  • Meningkatkan kualitas dan profesionalisme sumber daya manusia di lingkungan Kedeputian Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan.

3. Prinsip Win-win Solution

Badan Pertanahan Nasional RI sebagai lembaga yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan berkewajiban untuk menyelesaikan konflik pertanahan yang ada di Indonesia. Badan Pertanahan Nasional dalam menyelesaikan setiap konflik pertanahan di Indonesia berpedoman pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan dengan mengedepankan prinsip win-win solution.

Win-win Solutian adalah situasi di mana kedua belah pihak yang berselisih (berkonflik) sama-sama merasa diuntungkan dalam suatu transaksi atau kesepakatan dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. BPN sebagai mediator dan mencari jalan tengah yang mengakomodasi keadilan para pihak yang bersengketa. Dalam semangat win-win solution, penyelesaian sengketa tidak semata-mata didasarkan pada siapa yang memiliki sertifikat. Dalam banyak kasus, misalnya, seringkali penyelesaian sengketa mengabaikan eksistensi masyarakat lokal yang bertahun-tahun, dari generasi ke generasi telah menempati satu wilayah dan mengolah tanah di wilayah tersebut. Masyarakat kalah oleh investor yang baru datang dan memiliki sertifikat atas tanah di wilayah itu.

Dalam konsep win-win solution, seandainya investor memiliki sertifikat hak milik, mereka tidak bisa langsung menang atas rakyat karena rakyat dilindungi oleh Pasal 33 UUD 1945, meskipun rakyat tersebut tidak memiliki sertifikat. Pasal 33 UUD 1945 menyiratkan bahwa rakyat memiliki hak atas tanah dan kekayaan alam di dalamnya. Konsep win-win solution adalah cara yang membuat derajat rakyat semakin tinggi karena rakyat dalam cara itu tidak dapat serta merta dikalahkan. Dengan konsep ini, rakyat harus mendayagunakan kemampuannya. BPN dalam hal ini hanya hanya mediator yang dituntut untuk independen, dan tidak berpihak pada kedua belah pihak. Namun penyelesaian konflik pertanahan dalam konsep win-win solution tergantung pada para pihak yang berkonflik. Win-win solution adalah upaya untuk mempermudah akomodasi dari beragam kepentingan yang bersengketa agar tidak jatuh konflik yang memakan korban dan merugikan kedua belah pihak.

Diluar dari pentingnya penanganan dan penyelesaian konflik pertanahan yang harus segera dilaksanakan, yang tidak kalah penting adalah bagaimana untuk mencegah agar tidak terjadi konflik paling tidak mampu meminimalisir terjadinya konflik pertanahan. Sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu, upaya untuk mencegah terjadinya konflik pertanahan antara lain dengan : (1) penertiban administrasi pertanahan, (2)tindakan proaktif untuk mencegah dan menangani potensi konflik, (3) penyuluhan hukum dan/atau sosialisasi program pertanahan, dan (4) pembinaan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.

Dasar Hukum :

  1. Undang Undang Dasar 1945.
  2. Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu.
  3. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan (ATR/BPN) Nasional Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan.
  4. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 tahun 1984.
  5. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Pengkajian Dan Penanganan Kasus Pertanahan.
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
  7. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN).
  8. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), 

Referensi :

  1. Sukardi Bandang, Tinggi, sengketa pertanahan disumatra barat, 2 Januari 2012.
  2.  Asmara, Galang, Dkk, 2010, Penyelesaian Konflik Pertanahan Berbasis Nilai-nilai Kearifan Lokal di Nusa Tenggara Barat, Mimbar Hukum Volume 22 Nomor 1, Fakultas Hukum Universitas Mataram, Mataram.
  3. Chomzah, Ali Achmad, 2002, Hukum Pertanahan, Prestasi Pustaka, Jakarta.
  4. Limbong, Bernhard, 2012, Konflik Pertanahan, Margaretha Pustaka, Jakarta.
  5. Marzuki, Suparman, 2008, Konflik Tanah di Indonesia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar